Wednesday, March 31, 2010

Perang Ekonomi

Medan Bisnis, 29 Maret 2010
Saat ini, industri di Amerika Serikat terancam angkrut digerogoti oleh krisis. Pasar AS juga dibanjiri produk-produk dari China yang dituding debagai biang keladi defisit neraca perdagangan AS-China. Isu proteksionisme berhembus kian kencang. AS sepertinya berusaha sekuat tenaga untuk mengatasinya.

Proteksionisme adalah kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk melindungi industri dalam negeri dengan cara membatasi masuknya komoditi-komoditi dari luar negeri. Proteksionisme bisa terwujud dalam berbagai bentuk. Bentuk utama proteksionisme adalah pembatasan impor melalui pemberlakuan tariff, kuota, atau sanksi dagang.

Mulai dari program stimulus seperti keputusan pengesahan American Recovery and Reinvestment Act oleh Kongres AS. Undang-undang tersebut tidak hanya menjadi payung hukum paket stimulus ekonomi Amerika Serikat sebesar US$825, melainkan juga memuat langkah-langkah penting yang ditujukan untuk melindungi industri Amerika Serikat. “Buy American” menjadi salah satu indicator proteksionisme ala AS. Program stimulus fiskal 2009 yang dilakukan AS secara tersirat menetapkan “Buy American” bagi warga negaranya.

Sebagai sponsor WTO (World Trade Organization) Amerika sepertinya tidak berkomitmen penuh terhadap liberalisasi pasar yang mereka ciptakan sendiri. Kebijakan yang diambil sangat konservatif. Keadaan seperti ini bisa merugikan Negara lain termasuk Indonesia. Karena program tersebut tentunya akan mengurangi ekspor Indonesia ke AS.

Selain Indonesia, negara-negara seperti China, India, dan Brazil juga tentunya merasa dirugikan dengan adanya “Buy American”. Negara-negara ini tidak mempunyai pakta perdagangan dengan AS, maka perusahaan-perusahaannya yang di AS harus tunduk terhadap aturan AS. Konsekuensinya adalah perusahaan-perusahaan mereka yang ada di AS bisa dipaksa untuk menggunakan bahan baku dari AS.

Tidak sampai disitu. AS sepertinya tengah menyiapkan langkah selanjutnya guna menyelamatkan perekonomiannya. Lihat saja seperti yang baru dilakukannya, menjadikan nilai tukar Yuan sebagai biang keladi lambatnya proses pemulihan ekonomi dunia saat ini. Tekanan bahkan muncul dari kongres. Kenapa? Karena AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan China.

Benarkah demikian? Ketidak seimbangan ekonomi saat ini merupkan kesalahan China yang tidak membiarkan mata uangnya diperdagangkan secara liberal. Sehingga surplus yang dialami oleh China tidak bermanfaat karena mengendap dinegara tersebut. Kalau melihat sudut pandang dari mereka yang menyalahkan China.

Namun, pihak otoritas ekonomi China menyatakan bahwa, bukan masalah mata uang Yuan. Bahkan, mereka mengklaim bahwa kebijakan mata uang Yuan yang stabil mampu menyelamatkan perekonomian China dan Dunia. Wajar, tentunya China juga berhak melindungi perekonomian mereka. Selain itu, China juga mendapatkan dukungan dari PBB. Dimana PBB menyatakan China harus menolak desakan Barat untuk membiarkan mata uangnya mengambang, karena Beijing terunggul dalam stimulasi permintaan domestik dan perekonomian global.

Entah apalagi yang akan dilakukan AS untuk mengembalikan perekonomiannya. Dan tentunya China tidak akan berhenti untuk terus memacu ekonominya yang bertujuan mensejahterakan masyarakatnya. Namun, melihat sepak terjang dari kedua Negara terlihat dengan sangat jelas kalau mereka sebenarnya sedang dalam “pertempuran” hebat.

China berpeluang menggantikan AS sebagai adikuasa dibidang ekonomi. China yang saat ini menjadi ekonomi terbesar ke dua setelah AS berpeluang menyalip ekonomi AS. China punya penduduk yang banyak sebagai pasar yang menarik. Demikian juga mata uang Yuan berpeluang menggantikan $AS sebagai mata uang internasional. Namun, maukah China melepas mata uangnya dan membiarkan transaksi perdagangannya menjadi defisit? Entahlah, semoga “perang” ini berakhir dengan pulihnya perekonomian Dunia.

No comments: