Sunday, February 13, 2011

Permasalahan Gayus, Contoh Ketidakadilan

Medan Bisnis, 5 April 2010

Dimasa krisis seperti sekarang ini (meskipun tak separah krisis 1997/98), hampir 70% ekonomi kita adalah sektor informal. Dimana banyak tenaga kerja di Indonesia bekerja seperti tukang sate, buruh tani, tukang becak/ojek dll. Pendapatan yang mereka dapat bahkan masih ada yang tidak dapat memenuhi kebutuhan yang paling mendasar sekalipun.

Kondisi krisis memang merupakan momen buruk terhadap perekonomian. Banyak orang yang dipaksa banting setir untuk mencari pekerjaan baru guna memenuhi kebutuhannya. Orang-orang tersebut umumnya adalah mereka yang memiliki SDM rendah serta tidak memiliki modal sehingga dengan daya upaya seadanya mereka mencoba peruntungan hanya sekedar untuk menyambung hidup.

Program-program pemberdayaan masyarakat seperti PNPM, kredit UKM maupun program pemerintah sejenisnya, sepertinya belum juga menjadi senjata paling ampuh untuk mengentaskan kemiskinan. Terlepas apakah program tersebut kurang efektif, tidak tepat sasaran sehingga ada kalangan yang menilai program tersebut masih belum dirasakan manfaatnya secara signifikan bagi masyarakat.

Apabila dibandingkan dengan negara lain, bukankah Indonesia mampu menjaga laju pertumbuhan ekonominya. Dengan laju pertumbuhan tersebut seyogyanya mereka yang bekerja di sektor informal mampu menaikkan taraf hidupnya sehingga dapat masuk dan digolongkan kedalam sektor formal. Seperti memiliki memiliki izin usaha yang resmi dan terdaftar, memiliki karyawan hingga membayar pajak.

Perekonomian yang terus tumbuh akan terus mengkikis para pekerja di sektor informal. Sehingga akan tercipta suatu perekonomian modern yang benar-benar mampu memperkecil jumlah pekerja di sektor informal. Dan Indonesia saat ini memiliki ruang yang cukup untuk menciptakan itu semua. Ada beberapa hal yang melandasinya antara lain ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis global seperti sekarang ini.

Namun, wajah perekonomian Indonesia kembali tercoreng. Seperti yang terjadi saat ini, kasus makelar pajak yang menyeret beberapa petinggi negara ini. Potret kehidupan sosial seperti ini jelas mencoreng semangat pemerintah yang terus melawan korupsi serta reformasi birokrasi yang digalakkan. Pemerintah kembali kecolongan dimana semangat yang dikobarkan ternyata tidak didukung sepenuhnya oleh aparaturnya sendiri.

Bayangkan saja, apabila seorang pegawai pelaksana setingkat Gayus mampu mengumpulkan kekayaan hingga Rp. 28 Milyar. Bagaimana sebenarnya gambaran gunung es dari permasalahan tersebut. Ada berapa banyak serta seberapa besar uang yang diterima atasan Gayus. Belum lagi oknum aparat lain yang terkait dengan aksi Gayus tersebut seperti Kejaksaan maupun POLRI.

Dan yang tak kalah penting berapa banyak uang yang seharusnya masuk ke kantong pemerintah dari penerimaan pajak. Karena pada dasarnya seorang wajib pajak secara finansial tentunya lebih diuntungkan oleh sindikat makelar pajak dan membayar sindikat tersebut dibandingkan dengan harus membayar pajak yang sesuai dengan ketentuan dan keharusan. Bukankah di negeri ini pajak merupakan salah satu pendapatan negara dalam menopang perekonomiannya.

Apabila kita kaitkan dengan sektor informal seperti di awal tulisan ini. Jelas salah satu solusi yang dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan itu adalah pendanaan. Pendanaan tersebut nantinya dapat berupa program2 strategis pemerintah seperti PNPM, Kredit UKM dan sejenisnya. Darimana pendanaan tersebut? Kalau tidak dari pajak salah satunya.

Peran pengawasan keuangan negara tentunya tidak terlepas dari pengawasan para pembayar pajak. Negara yang lebih maju memiliki peran pajak yang lebih besar. Kalau masih saja ada korporasi ataupun perorangan yang mengemplang membayar pajak, maka sulit untuk mengharapkan adanya pengentasan kemiskinan.

No comments: