Wednesday, February 16, 2011

Substabsi Kedatangan Obama Terhadap Pasar Keuangan

Medan Bisnis, 15 November 2010
Kerupuk, Bakso, sate dan nasi goreng. Mungkin itu hal yang paling bisa dimengerti oleh kebanyakan Masyarakat Indonesia terkait dengan pidato Obama sewaktu mengunjungi Indonesia. Kemampuan Obama dalam berbahasa Indonesia didapatnya sejak dia tinggal di Indonesia semasa kecilnya dahulu. Obama menyatakan bahwa Indonesia merupakan bagian dari dirinya. Pernyataan tersebut spontan di balas dengan suara gemuruh tepuk tangan.

Obama mengunjungi Indonesia yang merupakan bagian dari kunjungan Obama yang sempat tertunda sebelumnya. Namun, kunjungan tersebut berlangsung kurang dari 24 jam. Padahal jika Obama memberikan waktu yang lebih banyak tentunya Indonesia mempunyai kesempatan untuk melakukan pendekatan-pendekatan serta memungkinkan membangun sebuah kerjasama yang lebih luas dengan Amerika Serikat.

Dalam kesempatan yang singkat tersebut, Obama menyatakan akan terus memperbaiki hubungan bilateral Indonesia dan Amerika. Mulai dari kebijakan tukar pelajar maupun di bidang ekonomi. Mungkin janji-janji obama tersebut bisa kita tagih suatu saat nanti. Untuk ekonomi, Amerika Serikat melalui obama menyatakan optimismenya terhadap perkembangan ekonomi AS yang dinilainya masih memberikan harapan akan pemulihan di masa yang akan datang.

Obama masih sangat yakin meskipun AS sendiri mengalami masa-masa sulit yang memang sangat sulit untuk di lewati. PDB AS yang relative stagnan, jumlah pengangguran yang terus meningkat serta defisit neraca perdagangan AS dengan China. AS sendiri di asia mulai hilang pamornya seiring munculnya India dan China sebagai salah satu kekuatan ekonomi Dunia. China merupakan Negara terbesar dalam hal ekonomi di Asia.

Fakta-fakta tersebut tentunya membuat banyak Negara di dunia meragukan ekonomi AS yang sedang di landa krisis. Namun, Obama tetap menunjukan optmisme yang luar biasa akan kebijakan ekonomi AS yang sedang dilakukan. Nah, disini yang mulai akan kita bicarakan. Kebijakan pemerintah Barack Obama baru-baru ini menggelontorkan uang sebesar $600 Milyar untuk membeli obligasi pemerintah.

Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah harga obligasi akan naik namun akan menekan suku bunga perbankan di AS. Nah, kebijakan tersebut diambil dengan tujuan agar konsumsi kredit meningkat dengan harapan sector riil kembali bergerak sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Efektif kah? mungkin itu adalah langkah yang dinilai perlu dilakukan saat ini, kefektifan tinggal menunggu masalah implementasi dan waktu saja.

Bukan tanpa resiko. Apabila resiko serta semua yang ditakutkan terjadi maka keefektifan kebijakan pemerintah AS sudah pasti tidak efektif. Resiko yang dikwatirkan tersebut adalah inflasi. Bila inflasi berjalan lebih kencang dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tercipta dari stimulus tersebut maka AS kembali masuk kedalam perangkap untuk memperketat kebijakan moneternya.

Kalau nantinya suku bunga AS dinaikkan maka, yang terjadi pertumbuhan ekonomi kembali akan mengalami kendala berat dan sulit untuk kembali ditingkatkan. Nah resiko awal yang terjadi baru-baru ini mulai muncul. Sengketa dengan Negara-negara dunia dalam hal mata uang sepertinya menemui jalan buntu dalam rapat G-20 baru-baru ini.

Rapat tersebut menghasilkan proteksionisme dari Negara-negara lain terhadap penguatan mata uangnya. Yang terjadi adalah US$ kembali menguat terhadap mata uang utama dunia dan indeks bursa global terkoreksi tajam termasuk IHSG. Padahal untuk meningkatkan kinerja ekonomi AS, Amerika sangat membutuhkan akan mata uangnya melemah sehingga mampu menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi AS serta mengurangi defisit neraca perdagangan AS.

No comments: