Sunday, February 13, 2011

Gelembung di Pasar Modal Pecah?

Medan Bisnis, 12 April 2010
Untuk kesekian kalinya, BI tetap mempertahankan besaran suku bunga atau biasa disebut dengan BI rate, seiring dengan meredanya tekanan inflasi. Laju inflasi yang relatif terkendali tersebut membuat ruang kenaikan BI Rate tertahan. Bahkan di bulan Maret kemarin justru yang terjadi adalah deflasi sebesar 0.14%.

Deflasi yang terjadi tersebut dirasakan dampaknya di pasar keuangan. Dimana nilai tukar Rupiah menguat di kisaran harga Rp 9.000/$, sementara IHSG kembali melonjak melewati batas tertinggi sebelum terjadinya krisis di tahun 2008. Meski demikian penguatan nilai tukar Rupiah serta IHSG membuat khawatir banyak orang.

Terlebih kenaikan indeks bursa. Harga-harga saham dinilai usdah terlalu mahal untuk di koleksi karena kenaikan indeks akhir-akhir ini. Euforia di lantai bursa di khawatirkan akan berakhir sehingga memicu aksi jual karena indeks telah mencapai titik tertinggi secara teknikal. Gelembung yang telah mengangkat indeks naik tinggi sepertinya akan pecah, benarkah demikian?

Kalau melihat dari sisi teknikal memang harga saham sepertinya sudah kelewat mahal. Namun, kalau melihat sisi fundamental sepertinya gelembung tersebut masih akan tetap terjaga. Kalaupun pecah tidak dalam waktu dekat ini. Ada beberapa alasan yang melandasi pendapat tersebut.

Dilihat dari sisi internal. fundamental ekonomi yang masih kuat. Laju inflasi yang terkendali serta pertumbuhan yang relatif terjaga menjadi salah satu alasannya. BI rate yang masih relatif terjaga menjadi salah satu indikator ekonomi makro yang utama.

Musim pembagian deviden di pertengahan tahun juga menjadi pemicu lainnya. Animo investor untuk memburu saham-saham di bursa sepertinya belum akan berakhir seiring dengan aksi korporasi dari para emiten yang melantai di bursa. Sejarah mencatat IHSG selalu mengalami kenaikan menjelang hajatan rutin tersebut.

Sisi internal lain yang mendukung adalah membaiknya iklim politik di negeri ini. Demokrasi yang merupakan pilar utama dunia perpolitikan sangat mendukung perekonomian kita. Meskipun belum terlepas dari belitan kasus century, namun sepertinya permasalahan century tidak memberikan dampak negatif yang luar biasa bagi perekonomian secara keseluruhan.

Dari sisi eksternal, kenaikan komoditas seiring dengan membaiknya perekonomian AS turut memberi warna lain bagi IHSG. Ingatkah kita, bahwa kenaikan indeks di tahun 2008 tidak terlepas dari booming harga komoditas yang melambung tinggi. Oleh karena itu kenaikan harga minyak mentah maupun komoditas liannya akan berpengaruh bagi kenaikan indeks bursa.

Nilai mata uang US Dolar yang melemah setelah Yunani diperkirakan mapu mengatasi kjrisis yang terjadi menjadi pendorong bagi menguatnya mata uang dunia lain termasuk nilai tukar Rupiah. Sisi eksternal yang lain adalah ketidakamanan yang terjadi di Thailand. Negeri Gajah Putih tersebut masih harus berusaha untuk lepas dari kemelut pergantian pemerintahan yang selalu berganti dengan sebuah tragedi.

Investor tentunya akan memilih Negara lain yang lebih aman untuk menginvestasikan dananya. Dan Indonesia tentunya memiliki kesempatan tersebut. Sejauh ini IHSG masih tetap kinclong dan menjadi indeks bursa terbaik di Asia. Gelembung yang terjadi sekarang ini memang berpotensi untuk pecah. Namun tidak dalam waktu dekat ini.

No comments: