Wednesday, February 16, 2011

Benarkah Momentum Pemulihan Telah Datang?

Medan Bisnis, 16 Agustus 2010
Sejatinya proses pemulihan selalu mengangkat harga minyak ke level yang tinggi. Namun dalam beberapa hari perdagangan terakhir harga minyak dunia kembali turun setelah sebelumnya sempat berada di level $80/Barel. Tak lain dan tak bukan pernyataan Gubernur Bank Sentral AS yang masih meragukan pemulihan ekonomi AS menjadi salah satu pemicunya.

Kemampuan AS dalam menyerap minyak mulai melambat. Sebagaimana tersaji pada data cadangan BBM AS yang naik dan sekaligus merupakan rekor tertinggi berdasarkan laporan mingguan dalam periode 10 tahun terakhir. Performa menurun minyak juga diperburuk oleh data US trade deficit, yang diluar ekspektasi naik senilai 49.9 milyar dollar pada bulan Juni. Tertinggi sejak Oktober 2008 pada saat import naik menuju rekor dan eksport anjlok.

Indikator tersebut jelas bahwa ekonomi AS masih dalam perlambatan karena indicator harga minyak mentah dunia masih bergerak dan membentuk tren penurunan dari sisi harganya. Selama pasokan tetap tinggi, daya serap minyak masih rendah dan harga minyak cenderung turun maka kita masih bisa menilai bahwa proses pemulihan ekonomi dunia belum sepenuhnya on the track.

Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi di Asia juga masih disangsikan mampu membantu proses pemulihan ekonomi dunia. Kenyataannya data ekonomi terkini dari AS dan negara-negara lain menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi sedang kehilangan momentum. Terlebih ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa melambatnya ekonomi di AS dan negara-negara lain termasuk Eropa dan China dan diperkirakan tidak akan sanggup untuk mempertahankan proses pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.

Setelah Fed memperingatkan bahwa pemulihan ekonomi AS sedang melambat, beberapa data dari Negara lainnya juga merealisasikan angka yang sama buruknya. Yang pertama datang dari China. China yang sebelumnya sempat membukukan pertumbuhan yang fantastis ternyata saat ini sedang menunjukan gejala perlambatan.

Selain itu, Bank of England menurunkan lagi outlook terhadap kondisi ekonomi di Inggris. Dan kondisi ini diperparah lagi mengenai data perdagangan dari AS yang menunjukkan terjadinya penurunan ekspor dari negara tersebut, sinyal bahwa para pengusaha manufaktur dalam negeri tidak dapat terus mengandalkan pasar luar negeri untuk menjadi pengganti turunnya permintaan di dalam negeri.

Dan selanjutnya kita pasti bisa memperkirakan bahwa data tersebut mengakibatkan kepanikan di pasar saham. Dan hampir semua saham di dunia tergkoreksi tajam. Bahkan Dow Jones sempat anjlok 265 poin. Dan anjloknya bursa saham AS tersebut diikuti oleh bursa-bursa saham di Asia. Nikkei anjlok sebesar 0.9% sementara Hang Seng mengalami penurunan 1.5%.

Hal tersebut menepis keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata belum mampu mengangkat perekonomian AS dari keterpurukan. Meskipun ekonomi mulai kembali tumbuh, namun petumbuhannya terlalu lambat untuk dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kembali pendapatan masyarakat.

Dengan melambatnya perekonomian China serta belum pulihnya ekonomi AS, maka akan terjadi fluktuasi yang berpotensi mengguncang pasar keuangan kita. Menjelang awal pekan ini, AS akan merilis data produksi pabrikan AS dan penjualan perumahan yang diperkirakan meningkat selama bulan juli lalu.

Prediksi tersebut belum sepenuhnya benar, Masih ada kemungkinan yang terjadi lainnya. Oleh karena itu kita harus tetap mewaspadai kemungkinan yang terjadi sebelum data tersebut bener-bener dirilis. Setidaknya ekspektasi data tersebut diikuti denganlonjakan harga minyak mentah dunia.

No comments: