Thursday, February 17, 2011

Urgensi kebijakan Finansial dan Lingkungan Metaekonomi

Medan Bisnis, 24 Januari 2011
Nilai tukar Rupiah melemah, IHSG turun tajam, Inflasi di tahun 2011 diperkirakan naik signifikan, dan BI Rate diperkirakan akan naik awal februari mendatang. itulah sejumlah alasan yang mencuat yang selalu dijadikan alasan terhadap wajah pasar keuangan kita 2 minggu terakhir. Arus dana asing kembali keluar yang beriringan dengan aksi jual masif di pasar saham membuat IHSG terkoreksi signifikan.

Tantangan ekonomi Indonesia semakin berat, meskipun pada dasarnya ekonomi kita masih berpeluang tumbuh di tahun kelinci ini. Tantangan kebijakan baik dari sisi moneter dan fiskal biasanya selalu bisa di prediksikan sebelum kebijakan itu benar-benar dikeluarkan nantinya. Dengan menggunakan besaran asumsi-asumsi yang biasa digunakan. Namun koordinasi yang tepat antara kebijakan moneter dan fiskal sepertinya yang belum kita miliki saat ini.

Dan sulit tentunya untuk menemukan pola koordinasi kebijakan yang benar-benar efektip. Karena kejutan-kejutan yang tak terduga bisa saja mengubah asumsi kebijakan yang ada. Sehingga koordinasi kebijakan diantara keduanya lebih diharapkan bersifat fleksibel sehingga mampu menjawab semua bentuk kesulitan yang diakibatkan oleh ketidak pastian ekonomi.

Hanya saja, mulai tahun 2009 hingga tahun 2011 seperti yang kita lihat ada begitu banyak bencana alam yang terjadi di belahan dunia ini. Sehingga urgensi kebijakan bukan hanya sebatas pada kebijakan moneter dan fiskal saja. Lingkungan kita ternyata telah meminta perhatian serius karena sifatnya yang tidak bisa diprediksi serta dampak negatifnya terhadap industri dan ekonomi nasional. Memang industri kita masih relatif tidak begitu terganggu oleh bencana alam tersebut. Namun bayangkan saja jika bencana tersebut justru di pusat kegiatan ekonomi Indonesia, tentunya akan memberikan dampak yang signifikan.

Selain itu, kerusakan alam yang terjadi di negara lain juga mengancam ekonomi nasional. Seperti kenaikan harga komoditas batu bara akhir-akhir ini akibat banjir hebat yang melanda australia. Tentunya akan sangat memukul industri kita yang kerap menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utamanya. Seperti umumnya pada pembangkit listrik di negeri ini. Ini menunjukan bahwa bencana alam negara lain tetap berpengaruh pada kondisi ekonomi domestik.

Sudah semestinya kebijakan Fiskal dan Moneter harus disandingkan dengan kebijakan dilingkungan ekonomi alam (metaekonomi). Bila kita mampu meprediksi pergerakan nilai tukar Rupiah dan IHSG, nah belum ada yang mampu memprediksi kapan bencana alam akan terjadi. Padahal dampak negatifnya seperti yang sudah-sudah bisa menimbulkan inflasi serta mampu merubah asumsi ekonomi makro yang kerap dituangkan dalam RAPBN kita.

Perubahan iklim yang tidak menentu seperti yang terjadi saat ini, bukankah telah membuat harga komoditas pangan seperti beras dan cabai naik signifikan. Dan perhatikan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi kita tahun ini, karena diekspektasikan inflasi akan naik signifikan IHSG pun akhirnya harus kandas, Rupiah juga melemah meskipun di lain pihak meng-klaim karena BI tidak mengantisipasi laju inflasi tersebut dengan menaikkan BI Rate.

Ketidakharmonisan alam dengan manusia juga kerap menimbulkan kondisi keamanan dan politik di negara tersebut tidak menentu. Seperti kebanyakan negara miskin lainnya. Alam yang dianggap kurang bersahabat serta dianggap tidak mampu mensejahterakan manusia yang tinggal disekitarnya. Akan selalu dapat memberikan alasan bagi manusia yang hidup disekitarnya untuk melakukan hal-hal yang negatif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena urgensi terhadap rasa lapar selalu di atas kebutuhan manusia lainnya termasuk bermasyarakat.

Indonesia juga tidak jauh berbeda. Di saat semua harga kebutuhan pokok meningkat, di saat itu pula bermunculan sejumlah pihak yang menyatakan bahwa pemerintah gagal dalam mensejahterakan rakyatnya. Pendapat tersebut benar adanya, namun yang kurang tepat adalah pernyataan tersebut diambil tanpa melihat bahwa ada faktor alam yang sulit diprediksikan (unpredictable) serta menjadi komoditas politik belaka. Untuk itu, pemerintah harus mampu melihat urgensi kebijakan lingkungan metaekonomi yang diselaraskan dengan kebijakan fiskal dan moneter.

No comments: