Wednesday, February 16, 2011

Perang Mata Uang

Medan Bisnis, 18 Oktober 2010
Proteksionisme menjadi alasan utama yang membuat kebijakan bank sentral di amerika dan eropa melakukan intervensi terhadap pergerakan nilai tukar uangnya. Diawali dari China, AS menuding China sebagai Negara yang memanipulasi mata uangnya yang seharusnya menguat signifikan terhadap US dolar. Langkah China yang membiarkan mata uangnya melemah membuat pasar internasional kebanjiran produk China sehingga ekspor China naik dibandingkan dengan Negara mitra dagangnya.

Defisit neraca perdagangan AS membengkak sementara neraca perdagangan China terus mengalami kenaikan. Sejumlah upaya yang dilakukan oleh Bank Sentral di Eropa AS Jepang dan China pada akhirnya akan mengakibatkan volatilitas pergerakan mata uang global semakin tidak terkontrol.

China yang benar-benar diuntungkan dengan pelemahan mata uang Yuan, membuat kinerja ekspor China menggeliat dan juga telah membuat cadangan devisa China menembus rekor sesuai dengan perkiraan Bloomberg sebesar $2.5 trilyun. Cadangan Devisa tersebut merupakan cadangan terbesar di dunia.

Sehingga, dengan cadangan devisa yang besar tersebut, pada dasarnya China lebih siap apabila mata uangnya terapresiasi terhadap US dolar. Karena apabila china tetap membiarkan mata uangnya melemah maka ketidakseimbangan global ini menurut versi AS akan membuat AS meningkatkan retorikanya dalam mengkritisi kebijakan nilai tukar Yuan. Seperti pernyataan yang pernah dikeluarkan AS sebelumnya. Dimana AS dan kongresnya memungkinkan pemberian sanksi kepada China, bila China tetap bersikukuh tidak membiarkan mata uang Yuan menguat.

Di Asia selainJepang, Thailand dikabarkan menghapus fasilitas pembebasan pajak 15% bagi pembelian obligasi oleh investor asing. Dampak dari kebijakan tersebut akan membuat mata uang baht tidak menguat signifikan terhadap US$. Dan India juga diberitakan akan melakukan intervensi di pasar valas jika perekonomiannya mulai terganggu dengan penguatan Rupee yang terlalu tajam.

Dalam permasalahan seperti ini, yang menjadi pertanyaan penulis adalah dimana peran WTO?. Benarkah langkah yang dilakukan AS dalam menekan china?. Sejauh ini dalam berbagai kesempatan di forum-forum internasional seperti G-20, APEC atau IMF, AS selalu memberikan tekanannya terhadap China, dan selalu menjadikan China sebagai masalah atas krisis yang berkepanjangan.

Melihat dinamika dunia keuangan internasional seperti itu, dimanakah posisi Indonesia?. Kalau produk china saling berhadapan dengan produk yang dihasilkan dari AS. Maka produk China selalu lebih murah dibandingkan dengan AS. Sehingga produk China akan lebih menguasai pasar dibandingkan dengan produk dari AS.

Indonesia memiliki komoditas ekspor yang jarang dimiliki Negara lain khususnya Negara seperti Amerika, Eropa dan China. Ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas seperti Sawit dan Karet serta komoditas alam lainnya. Sehingga dengan perang mata uang tersebut pasar Ekspor kita kecil sekali mengalami guncangan.

Namun, mata uang Rupiah memang menguat sangat tajam akhir-akhir ini. Penguatan tersebut bisa saja menggerus ekspor, namun disisi lain akan lebih bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Akan tetapi mata uang US$ bisa saja kembali melemah, jika Amerika sudah mulai kehilangan kesabaran dan melakukan kebijakan yang membuat US Dolar itu melemah. Seperti pembelian Obligasi oleh Bank Sentral AS itu sendiri.

No comments: