Thursday, February 17, 2011

Krisis Mesir Dan Bursa Saham

Medan Bisnis, 31 Januari 2011
Revolusi ternyata telah menghinggapi beberapa negara di Timur Tengah. Dimulai dari krisi di Tunisia yang meminta presiden Zine El Abidine Ben Ali untuk segera diadili. Setelah Tunisia saat ini Mesir dan Aljazair juga dilanda hal yang serupa, dan bahkan mengalami kerugian yang paling parah. Warga dari negara arab sepertinya sedang dalam kemarahan yang luar biasa.

Mencuatnya harga bahan pangan, inflasi yang tidak terkendali serta tingginya angka pengangguran menjadi pemicu utama atas kerusuhan ini. Selain masalah politik lain yang memang belum beres, seperti rezim kepemimpinan presiden hingga 30 tahun. Kerusuhan tersebut bukan berarti hanya akan dirasakan oleh negara yang sedang berkecamuk, namun tetap akan mempengaruhi negara lain khususnya pasar keuangan.

Bursa saham Amerika Serikat turun tajam pada perdagangan Jumat minggu kemarin. Rontoknya bursa tersebut diyakini karena pemimpin Mesir gagal untuk membendung aksi protes. Saham-saham blue chips di Amerika seperti Ford, Microsoft dan Amazon sangat mengecewakan. Sementara itu Dow Jones Industrial Average turun 166,13 poin (1,39 persen) menjadi 11.823,70 pada penutupan, dan indeks S&P 500 turun 23,20 poin (1,79 persen) menjadi 1.276,34.

Kerusuhan di Mesir membuat Bursa Wall Street mengalami kerugian paling besar sejak 6 bulan terkahir. Pelaku pasar memilih untuk mengambil jalan yang paling aman dengan tidak melakukan pembelian saham. Pasar tidak suka dengan ketidakpastian seperti permasalahan geopolitik, selain itu potensi penyebaran krisis mesir ke Negara lain masih berpeluang sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi investor.

Ada hal yang lebih serius yang bisa memicu kondisi pasar keuangan dunia, yaotu melonjaknya harga minyak dunia. Seperti yang kita ketahui, Timur tengah merupakan Negara penghasil minyak terbesar di dunia. Harga minyak dunia kembali merangkak naik dalam sesi perdagangan jumat kemarin sebesar 4.4%. Ini tentu sangat mengkhawatirkan kondisi ekonomi global tanpa terkecuali Indonesia.

Dalam beberapa waktu kedepan, pasar saham akan dilanda aksi jual besar-besaran. Kalau IHSG menguat dalam perdagangan minggu kemarin, maka potensi penurunan bagi IHSG masih tetap ada. Setidak-tidaknya IHSG berpeluang turun ke level 3300 atau bisa ke 3000, dan sangat bergantung pada perubahan kondisi keamanan di Negara Timur Tengah yang tengah dilanda krisis.

Selain krisis di Timur Tengah ada juga ancaman lain dari Amerika Serikat. Tingkat pengangguran di AS diperkirakan masih akan mengalami kenaikan di bulan Januari ini. Ekonomi AS sepertinya belum benar-benar pulih dan keluar dari krisis keuangan yang melilit sejak tahun 2008 silam. Kondisi tersebut bisa memperparah kinerja Indeks bursa dunia. Sehingga guncangan eksternal di pasar keuangan benar-benar akan berpengaruh bagi kinerja pasar keuangan kita.

Ada begitu banyak sentiment negatif yang menyelimuti bursa kita dalam waktu dekat. Beberapa diantaranya yaitu lonjakan harga pangan dan inflasi. Sementara sentimen negatif dari luar seperti krisis timur tengah serta kinerja bursa wall street yang mengecewakan turut akan menjadi ancaman serius bagi pasar keuangan kita dalam waktu dekat ini.

Hal yang paling perlu dikhawatirkan adalah adanya rencana sejumlah perusahaan di lantai bursa yang akan mencatatkan saham perdananya (IPO) Garuda Indonesia serta right issue Bank Mandiri. Dengan kondisi bursa yang sedang diselimuti sentiment negatif maka peluang bursa terjebak dalam trend bearish tidak terhindarkan. Dan untuk itu kita perlu hati-hati dalam mengantisipasi kemungkinan jelek tersebut.

No comments: