Wednesday, February 13, 2008

Antara Paket Stimulus Ekonomi AS, Tempe dan Minyak Goreng

Medan Bisnis, 29 Januari 2008
Perekonomian Amerika Serikat kembali menghadapi resesi yang mungkin akan berkepanjangan. Hal tersebut terbukti dengan bangkrutnya sejumlah perusahaan jasa keuangan AS yang sekaligus memicu anjloknya indeks bursa saham wall street, serta menyeret sejumlah indeks bursa global. Mata uang US Dolar juga tidak luput dari keterpurukan sehingga membutuhkan insetif baru guna menyelamatkannya.

Tidak tanggung-tanggung, melemahnya US Dolar turut memicu melambungnya harga komoditas seperti minyak mentah dunia, yang turut membawa komoditas lainnya seperti gandum, kedelai kembali meroket tajam. Imbasnya jelas, para produsen tempe sempat menghentikan produksinya karena kenaikan harga bahan baku kacang kedelai.

Ungkapan yang muncul seperti “Amerika Bersin, Maka Negara Lain akan Demam”, sepertinya cukup menggambarkan bagaimana dampak dari kredit macet perumahan AS berimbas pada kebutuhan bahan makanan pokok di dalam negeri. Bahkan, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa permasalahan pangan belakangan ini merupakan masalah global, jadi bukan Indonesia saja yang kesulitan dalam menghadapi kelangkaan pangan, namun negara lain juga merasakan hal yang sama.

Namun yang pasti akan lebih bermartabat kalau pemerintah mampu mengatasi kelangkaan pangan dalam negeri walaupun negara lain justru kesulitan dalam mengatasinya. Bukan hanya beretorika serta mencari alasan lain sebagai kambing hitam dan dijadikan alasan untuk tidak melakukan sesuatu.

Indonesia lagi-lagi berada dalam posisi yang dirugikan pada saat ini. Belum lagi tuntas masalah pencapaian pertumbuhan yang tidak memenuhi harapan, Indonesia kembali dihadapkan pada laju tekanan inflasi akibat melambungnya harga sejumlah kebutuhan makanan pokok. Sehingga, banyak yang optimis bahwa pada tahun 2008 ini pemerintah tidak akan mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang telah ditargetkan.

Banyak yang bertanya-tanya, kenapa harga minyak goreng tetap mahal dipasaran, padahal Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di Dunia. Jawabannya jelas, para pengusaha kelapa sawit akan lebih senang kalau sawitnya dijual di pasar global karena jauh lebih menguntungkan ketimbang harus dijual didalam negeri, yang notabene lebih murah karena untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik.

Moral hazard dari para pengekspor CPO (Crude Palm Oil) / minyak kelapa sawit sempat diketuk ketika harga minyak goreng malambung tinggi. Namun, apakah kita sadar bahwa kenaikan harga CPO di pasar global juga akan mengangkat pendapatan petani sawit dalam negeri pada umumnya. Ngalor-ngidul dan tetap berkutat ke permasalahan itu, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan pajak ekspor dari penjualan CPO.
Efektifkah?, jawabannya tentu relatif tergantung kemampuan daya beli kita terhadap minyak goreng itu sendiri. Mahal atau tidaknya suatu barang tentu akan bergantung pada isi kantong kita masing-masing. Belum ada yang tahu kapan kesengsaraan ini akan berakhir.

Mungkinkah lagu dari Alm.Chrisye yang berjudul Badai Pasti Berlalu benar-benar akan menjadi doa yang akan terwujud, atau sebagai hiburan atas kesabaran mengahadapi cobaan seperti sekarang ini.

Namun, kita semua pasti dapat memperhitungkan semuanya. Mari kita sama-sama menganalisa. Kredit macet yang terjadi di Amerika telah membuat daya beli masyarakat disana menurun, sehingga mengurangi kinerja ekspor negara kita ke AS.

Hal tersebut tentunya akan berdampak pada menurunnya produktifitas perusahaan yang penjualannya bergantung pada Amerika Serikat. Dan memungkinkan perusahaan tersebut akan merugi, terlebih perusahaan tersebut tidak mempunyai negara tujuan ekspor lainnya. Dan kita tentunya sudah tahu apa yang akan dilakukan jika sebuah perusahaan itu merugi.

Nah, ada beberapa negara lain seperti China dan India yang tetap menunjukan laju pertumbuhan ekonomi yang dahsyat. Sehingga membuat negara tersebut kehausan akan minyak dan membuat harga minyak dunia melambung jauh diatas harga yang ditetapkan dalam APBN. Apabila harga minyak dunia naik tajam sudah tetntunya hal tersebut akan berimbas pada melambungnya harga barang yang berbasis impor. Karena harga barang tersebut akan ditambah dengan harga pengiriman yang juga membutuhkan bahan bakar.

Inilah yang menjadi pemicu kenapa harga kebutuhan pokok turut melambung tinggi belakangan ini. Kalaupun pemerintah mampu menstabilkan harga dengan cara subsidi, namun kita tidak akan pernah tahu sampai kapan negara ini akan mampu dibebani dengan biaya subsidi yang semakin besar.

Pada saat ini, Amerika Serikat direncanakan akan mendapat dana bantuan untuk menghindari negara tersebut dari krisis ekonomi, yang disebut juga dengan rencana stimulus kebijakan ekonomi. Ada harapan akan membaiknya daya beli masyarakat di AS yang sejalan dengan pemangkasan suku bunga The FED belakangan ini. Dan tentunya ada harapan pula dengan peningkatan kinerja ekspor negara kita.

Namun, turut diwaspadai pula bahwa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Amerika akan membuat negara tersebut semakin rakus akan minyak mentah, yang berpotensi mengangkat harga minyak mentah ke level yang lebih tinggi lagi. Sehingga sulit untuk menciptakan harga barang yang peduli pada masyarakat kita pada umumnya. Sehingga Teori yang benar untuk mengungkapkan ini semua adalah teori keseimbangan (equilibrium). Dimana pada dasarnya kita tetap berada pada sebuah titik keseimbangan, tidak kurang dan tidak lebih. Kalaupun anda merasa lebih tentunya ada sisi lain yang kekurangan.

No comments: