Sunday, February 24, 2008

Buah Simalakama Ala Amerika

Medan Bisnis, 18 Februari 2008
Bank Sentral Amerika atau biasa disebut denga The FED kembali dihadapkan dengan data-data perekonomian Amerika, yang lagi-lagi menunjukan performa yang buruk. Kebijakan menurunkan suku bunga acuan The FED secara drastis belakangan ini, menimbulkan masalah lain walaupun diperkirakan cukup mampu mengurangi defisit neraca perdagangan Amerika.

Departemen tenaga kerja AS melaporkan telah terjadi kenaikan sejumlah harga barang seperti makanan dan energi yang disebabkan oleh meningkatnya laju tekanan inflasi akibat meningkatnya harga barang impor. Memburuknya kinerja mata uang US Dolar telah membuat negara tersebut membayar lebih mahal terhadap semua barang impor yang masuk ke Amerika.

Harga barang impor di Amerika telah mengalami kenaikan sebesar 1.7% selama bulan Januari 2008. Kenaikan tersebut nantinya juga akan memaksa sejumlah perusahaan di Amerika menaikan harga barang sehingga mendongkrak laju inflasi negara tersebut. Untuk meredam laju inflasi itu, maka langkah yang harus diambil oleh Bank Sentral Amerika adalah dengan menaikkan suku bunga acuan atau The FED Fund Rate.

Tidak mungkin, kredit sektor perumahan Amerika masih dalam masa keterpurukan. Daya beli masyarakat Amerika kembali menurun. Menaikan suku bunga akan menambah beban masyarakat di negara tersebut dan dapat memperburuk kinerja perekonomian Amerika yang masih berkutat pada kredit bermasalah dan berpotensi membawa AS menuju resesi.

Keputusan menaikan suku bunga juga sangat bertolak belakang dengan kebijakan stimulus perekonomian Amerika yang telah disetujui oleh congress amerika. Kebijakan suku bunga tinggi atau tight money policy juga akan berdampak pada memburuknya kinerja perekonomian global, karena Amerika masih menjadi negara tujuan utama ekspor di hampir semua negara di belahan dunia.

Sangat dilematis, dan bagaikan makan buah simalakama. Namun, solusi untuk masalah tersebut adalah dengan menetapkan prioritas. Pemerintah AS harus dipaksa menentukan 1 pilihan yang sama-sama punya sisi negatif dan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Namun pilihan tersebut sepertinya telah terungkap dengan jelas seiring dengan pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dalam rapat FOMC (Federal Open Market Committee).

Dalam Pidatonya Bank Sentral AS siap untuk menurunkan suku bunga lagi dalam mendorong pertumbuhan, serta memberikan jaminan akan munculnya ancaman dari kebijakan yang akan dibuat tersebut. Langkah tersebut jelas tidak populis, namun apamau dikata, biarkan saja inflasi naik, harga barang naik, banyak uang beredar asalkan mampu mendongkrak daya beli masyarakat.

Tapi bagaimana mungkin?, bukankah laju inflasi yang tinggi juga sebagai indikasi awal bahwa daya beli masyarakat akan kembali melemah nantinya. Bagi-bagi uang (paket stimulus ekonomi AS) juga akan kurang bermanfaat apabila masyarakat Amerika menerima uang, namun harus membayar harga yang lebih mahal terhadap produk yang akan di belinya.

Mirip lomba lari seperti perayaan acara 17-an. Kita hanya tinggal melihat manakah diantara Inflasi dan Pertumbuhan yang akan mencapai garis finish duluan. Kalau pertumbuhan ekonomi Amerika akan dipacu dengan suku bunga rendah dan dilengkapi dengan paket stimulus ekonomi, nah Inflasi akan di pacu dengan US Dolar yang melemah serta tingginya harga komoditas dunia.

Kalau paket stimulus AS berhasil membawa masyarakat Amerika jauh dari potensi resesi, maka hal tersebut tentunya akan dikompensasi dengan membaiknya perekonomian global yang ditandai dengan membaiknya daya beli masyarakat Amerika. Dan hal tersebut tentunya akan berdampak positif bagi kinerja ekspor negara-negara yang menjadikan Amerika sebagai tujuan utama.

Nah kalau ancaman inflasi yang lebih menonjol, maka hal tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian AS, sehingga perekonomian global akan mengalami kontraksi juga. Kita (Indonesia) tentunya tidak hanya menonton, kita harus mengantisipasi dampak dari kebijakan Amerika tersebut.

Kalau kita saat ini mengantisipasi dengan cara meningkatkan konsumsi dalam negeri. Maka kita akan melihat bahwa gejolak perekonomian Global tidak akan berpengaruh banyak bagi kegiatan ekonomi domestik. Posisi kita akan sangat lebih diuntungkan dari ancaman resesi negara lain.

Namun, tidak mudah untuk menaikan belanja masyarakat kita seperti sekarang ini. Selain karena APBN yang harus tambal sulam, tingginya harga komoditas seperti minyak, kedelai maupun gandum. Kita juga masih harus meminjam uang dengan suku bunga cukup tinggi, karena BI rate belum pasti akan turun dari tempat duduknya yang masih seharga 8%.

No comments: