Wednesday, February 13, 2008

Kesengsaraan (Hutang) Tiada Akhir

Medan Bisnis, 14 Januari 2008
Banyak pihak yang merasa kecewa ketika banyak media mengabarkan bahwa perbankan masih saja menyimpan dananya ke Bank Indonesia melalui instrumen keuangan Sertifikat Bank Indonesia atau biasa disebut dengan SBI. Dana nganggur di Perbankan tersebut seharusnya dapat dijadikan instrumen keuangan bagi dunia usaha atau biasa disebut dengan kredit.

Penyaluran kredit akan meningkatkan belanja masyarakat dan akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus sebagai wadah mediasi perbankan itu sendiri. Namun, perbankan juga masih mengeluhkan penyerapan yang kurang maksimal dari para pelaku dunia usaha, baik itu karena suku bunga dinilai masih relatif tinggi, tingginya harga bahan bakar minyak, mahalnya bahan baku, penurunan daya beli hingga ke permasalahan struktural yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Permasalahan tersebut disinyalir sebagai akar dari lemahnya penyerapan APBD di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, alasan lain seperti ketakutan akan kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar dalam memberantas penyalahgunaan uang Negara (korupsi) kerap dijadikan masalah juga. Padahal penggunaan anggaran yang dapat dipertanggung jawabkan tentunya dapat dijadikan garansi.

Kondisi yang seperti demikian akan memicu sejumlah daerah menempatkan dananya di perbankan dengan fasilitas yang sama yaitu SBI. Karena SBI memberikan imbal hasil yang lebih baik dibandingkan dengan produk keuangan lain seperti Deposito. Sehingga pantas kiranya kalau pemerintah juga memberikan kontribusi bagi lambatnya pertumbuhan ekonomi, lemahnya penyerapan tenaga kerja hingga ketidak berdayaan dalam mengentaskan kemiskinan.

Rakyat yang jelas-jelas tidak terlibat sedikitpun dalam setiap pengambilan keputusan tersebut sangat dirugikan, karena beban dari bunga yang harus dibayarkan juga harus dibayar dengan keringat mereka. Sehingga subsidi (dalam bentuk apapun) yang diterima rakyat seperti sekarang ini tidak sebanding dengan kesempatan lain yang bisa diraih seperti pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan yang lebih layak.

Kalau saja penulis diberikan pilihan, maka penulis akan memilih untuk tidak menerima subsidi sama sekali asalkan dapat mendapatkan pekerjaan yang layak. Lagipula, subsidi yang diberikan pemerintah pada saat ini juga tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat miskin karena mereka yang berpendapatan lebih baik juga dapat menggunakan subsidi tersebut.

Sejak menjelang akhir tahun 2007 hingga awal tahun 2008 ini, posisi pemerintah semakin sulit untuk menyesuaikan kenaikan harga minyak yang sebelumnya dalam APBN dipatok $60/barel, padahal harga minyak dunia pada saat ini mendekati level $100/barel. Defisit APBN pun tidak bisa dihindari.

Hingga pemerintah melalui menteri keuangan kembali menerbitkan surat utang dalam denominasi mata uang US Dolar sebesar US$ 2 Milyar yang biasa disebut dengan global bond, dan diberi nama indo 38 dan indo 18. Dengan masing-masing jatuh tempo 30 tahun untuk indo 38 serta 10 tahun untuk indo 18.

Ada hal yang menarik dari penerbitan dua obligasi tersebut, yakni bunga yang ditawarkan sebesar 7.74% (indo 38) serta 6.90% (indo 18). Menarik disini bukanlah karena bunga yang dibayar terlalu murah, akan tetapi lebih tinggi dari penerbitan obligasi di Amerika sendiri yang berada di range 4% hingga 6%.

Walaupun rating utang Indonesia yang diberikan lembaga pemeringkat utang sudah membaik akhir-akhir ini, namun sepertinya kebanyakan investor di negeri paman sam tidak mau ambil resiko, mereka tetap meminta bunga yang lebih tinggi lagi. Nah, siapakah yang akan membayar bunga segede itu?, kita (rakyat) tentunya dong, melalui pemerintah pastinya.

Walaupun tidak akan ada tagihan secara langsung yang ditujukan kepada kita, tapi yakinlah bunga segede itu akan berdampak pada berkurangnya kualitas subsidi yang kita terima selama ini, maupun hilangnya kesempatan lain untuk mendapatkan subsidi yang baru. Subsidi tersebut juga belum terbebas dengan aksi penggelapan oleh oknum pemerintah, yang tentunya akan menambah lengkap penderitaan kita (rakyat).

Dengan porsi utang pemerintah melalui SBI yang mendekati Rp.300 Trilyun, serta utang lain seperti penerbitan global bond, mengindikasikan bahwa kita (rakyat) masih akan terus berjuang untuk lepas dari kesengsaraan. Kalau perjuangan tersebut sudah mengalami titik jenuh, maka tidak ada pilihan lain selain pasrah kepada Tuhan.

No comments: