Friday, June 20, 2008

Jangan Banyak Berharap Pada Pertumbuhan

Medan Bisnis, 2 Juni 2008

Kenaikan BBM beberapa waktu lalu yang turut dibarengi dengan kenaikan BBM untuk industri per 1 Juni 2008 akan memberikan bobot pada peningkatan tekanan terhadap laju inflasi. Hampir semua Negara di dunia pada saat ini mengalami laju tekanan inflasi yang sangat kuat yang membuat roda perekonomian mengalami overheating (kepanasan).

Laju tekanan inflasi di Negara kawasan Asia yang masih bergerak liar, membuat banyak Bank Sentral di Asia lebih fokus terhadap pengendalian harga/inflasi dibandingkan dengan memikirkan permasalahan sosial seperti pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Harga minyak dunia yang terus menggila membuat Negara tetangga kita Vietnam terjepit dengan rata-rata kenaikan harga barang sebesar 25%.

Laju pertumbuhan Negara di Asia juga dipangkas menjadi sekitar 7%. Padahal Asia saat ini merupakan Negara yang memberikan kontribusi paling besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi Dunia. Dengan melemahnya daya beli di AS, Asia diharapkan menjadi Negara yang mampu menjadi penyeimbang karena tingginya pertumbuhan di China (11%) serta di India (8,7%).

Namun, kondisi tersebut sangat berbeda saat ini. Negara-negara di kawasan Asia terjebak dengan tingginya inflasi namun tidak ada tanda adanya pertumbuhan (stagflasi). Negara yang lebih mengandalkan ekspor terlebih ekspor ke AS akan menjadi sangat terbebani karena rendahnya daya beli masyarakat di Amerika. Dengan laju pertumbuhan ekonomi AS rata-rata dibawah 2%, maka Negara yang menjadikan AS sebagai tujuan utama ekspor akan mengalami kontraksi di negaranya sendiri.

Kondisi yang demikian akan membuat banyak Negara mengalihkan ekspornya ke Negara lain, salah satunya adalah Negara di kawasan Asia. Namun, apakah Asia akan tetap diminati?, tentunya tetap karena masih memberikan pertumbuhan lebih tinggi. Namun, apabila inflasi terus menggerogoti daya beli, maka popularitas Asia sebagai Negara tujuan ekspor akan terus memudar.

Termasuk juga Indonesia. Negara ini juga tidak terlepas dari jebakan resesi dunia. Kenaikan inflasi akibat kenaikan harga BBM membawa negeri ini untuk kembali memberlakukan kebijakan uang ketat atau suku bunga kredit tinggi. Tekanan inflasi akan semakin memburuk tatkala pemerintah telah menaikan harga BBM Industri.

Dengan kenaikan tersebut maka biaya operasional industri akan cenderung meningkat dan akan membuat produk dari industri tersebut semakin mahal. Inflasi akan bergerak seiring dengan pergerakan produk tersebut selama dalam proses distribusi ke pengguna akhir. Bayangkan apabila proses distribusi tersebut di lakukan dengan biaya harga BBM yang mahal, tentunya akan berdampak pada meningkatnya harga jual barang tersebut. Semakin jauh barang tersebut di distribusikan maka semakin mahal pula harganya.

Dampak yang dapat dirasakan adalah apabila produk yang telah dipasarkan tersebut ternyata tidak terjual di pasaran. Misal dikarenakan terlalu mahal atau diluar kemampuan konsumen untuk membelinya. Sehingga akan mengurangi omzet dari perusahaan. Jelas apabila terjadi penurunan pendapatan maka perusahaan akan melakukan rasionalisasi termasuk melakukan PHK.

Disini sangat jelas sekali, bahwa kenaikan BBM akan menambah jumlah pengangguran dan orang miskin. Pengendalian inflasi/harga yang dilakukan pemerintah pada saat ini hanya akan berdampak pada pasar keuangan. Karena pengendalian inflasi biasanya dilakukan dengan cara menaikan suku bunga guna menambah cadangan Bank Sentral (BI).


Cara yang dilakukan oleh BI pun hanya akan menambah jumlah uang panas, yang lebih bersifat jangka pendek. Sementara itu ruang lingkup pertumbuhan ekonomi kian mengecil. Sehingga selama pemerintah masih mengatakan bahwa pentingnya pengendalian harga/inflasi, maka selama itu pula kita jangan terlalu berharap adanya pertumbuhan ekonomi yang akan merubah nasib kita menjadi lebih baik.

No comments: