Monday, March 26, 2012

BBM, Kemiskinan, BLT Dan Perbankan

Medan Bisnis, 27 Februari 2012
Pemerintah berencana menggelontorkan BLT (bantuan langsung tunai) kepada masyarakat golongan miskin seiring dengan rencana kenaikan harga minyak bersubsidi. Kenaikan BBM tersebut rencanannya akan dimulai april mendatang. Kenaikan BBM tersebut merupakan rencana pemerintah yang lama yang akan segera terealisir. Kenaikan BBM tersebut nantinya akan sangat mebebani golongan masyarakat miskin karena kenaikan BBM berkorelasi terhadap laju inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat.

Besaran angka kucuran dana untuk BLT menurut pemberitaan media sebesar Rp. 100.000,- per bulan dan menurut rencananyan akan dibagikan selama 8 bulan. Kenapa ya 8 bulan? Mungkin asumsinya dikarenakan dampak kenaikan harga minyak tersebut terhadap inflasi sekitar 8 bulan. Namun, dampak kenaikan harga BBM biasanya paling sering 2 s.d. 5 bulan. Sangat bergantung pada upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak negatifnya.

Akan tetapi, bila pemerintah menggelontorkan uang sebesar Rp. 100.000 selama 8 bulan, maka potensi dampak kenaikan harga bahan kebutuhan pokok akan sejalan dengan lamanya BLT yang diberikan. Lumayan lha, setidaknya dampak kenaikan harga BBM dapat dilalui oleh kalangan miskin tanpa adanya tekanan finansial yang signifikan terhadap mereka – golongan miskin.

Memang sangat sulit menaikan harga BBM manakala jumlah penduduk miskin presentasinya signifikan. Sangat berbeda tentunya dengan kemampuan negara yang memiliki daya beli tinggi, sehingga menaikan BBM bisa digunakan untuk menjadikan masyarakatnya agar lebih berhemat dalam penggunaan uang.

Selain itu, ketidak mampuan kita dalam memenuhi kebutuhan BBM secara mandiri turut mempersulit kita mengurangi angka kemiskinan, terlebih bila harga minyak dunia mengalami kenaikan tajam, pengurangan angka kemiskinan menjadi suatu keniscayaan. Sehingga menciptakan peluang kerja yang sebesar-besarnya menjadi perjuangan yang harus dilakukan untuk mengangkat masyarakat kita keluar dari jebakan kemiskinan.

Ketimpanganpun terjadi, Perbankan kita masih berkutat bagaimana mencetak laba demi kepentingan pemegang saham dibandingkan dengan fokus menjadi fungsi intermediasi yang optimal. Di satu sisi kita memiliki sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang dapat dikelola, namun disisi lain kita dihadapkan pada sulitnya mencari sumber pembiayaan.

Sehingga sumber daya yang dikelola tidak memberikan dampak signifikan dalam mengentaskan kemiskinan. Dan apabila harga BBM naik maka BLT menjadi jalan keluar guna menyelamatkan mereka yang tergolong miskin. Dimana uang yang digunakan untuk menyalurkan BLT tentunya akan diambil dari anggaran di APBN. Yang jelas-jelas akan lebih bermanfaat bila digunakan untuk pembangunan di sektor riil.

Ada pepatah bijak yang mengatakan “Berikanlah Pancingnya, Jangan Ikannya”. Bila kita terjemahkan maka andaikan seseorang memiliki kesulitan finansial maka janganlah diberikan uang, namun ciptakanlah lapangan kerja buatnya. Karena uang (Rp. 100.000) yang akan diberikan secara Cuma-Cuma kepada rakyat miskin akan bermanfaat untuk konsumsi saja. Dan jangan berharap Rp.100.000,- tersebut akan menjadi uang yang digunakan untuk menciptakan sebuah lapangan kerja baginya.

Pemerintah kita memang belum benar-benar mampu memberikan pancing dibandingkan memberikan Ikan. “Pancing” disini merupakan hasil kreatifitas pemerintah dalam menciptakan iklim uasaha yang kondusif, sumber pembiayaaan semurah mungkin maupun dorongan/bantuan pemerintah dalam menumbuh kembangkan wirausaha.

Disaat tekanan harga minyak tidak dapat dielakkan pemerintah seolah-olah mengambil jalan pintas dengan menyalurkan BLT. Paradigma ini sudah berlangsung dalam waktu lama dan sepertinya dilakukan secara turun temurun. Pemerintah seolah-olah tak berdaya manakala menghadapi Perbankan kita yang enggan menurunkan bunga pinjaman, Ironis sekali.

Padahal dengan lebih menekankan efisiensi Perbankan dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi akan tercipta, dan secara otomatis pengangguran akan berkurang. Mungkin pemerintah sudah saatnya mengambil tindakan dengan menjadikan Bank BUMN tidak fokus pada laba namun lebih ditekankan intermediasinya. Mungkinkah? Kok rasanya percaya dan tak percaya.

No comments: