Monday, September 22, 2008

Kegelisahan Baru di Pasar Global

Medan Bisnis, 14 Juli 2008
Negeri paman sam masih terus berjuang untuk melawan perekonomian yang kian tak menentu. Hal tersebut dapat terlihat dengan serangkaian kebijakan yang telah dibuat, maupun koordinasi dengan banyak negara guna mengurangi dampak negatif yang lebih luas dari tren penurunan perekonomian di Amerika.

Namun, usaha tersebut sepertinya terkesan tidak mampu berbuat banyak. Karena kebijakan apapun yang akan diambil hanya bersifat memperpanjang umur belaka dan bukan menuntaskan permasalahan. Karena kebijakan apapun yang diambil Amerika akan tetap memberikan dampak negatif pada sisi lainnya, karena belum ada formulasi kebijakan yang bisa menyembuhkan semua penyakit (permasalahan).

Yang paling menyedihkan adalah berita yang baru-baru ini muncul. Berasal dari 2 lembaga keuangan pembiayaan perumahan paling penting di AS yang bernama Fannie Mae dan Freddie Mac. Diberitakan bahwa kedua perusahaan tersebut sedang jungkir-balik dan membutuhkan suntikan dana cukup besar guna tetap beroperasi.

Kondisi tersebut terang aja membuat pelaku pasar panik yang dibuktikan dengan anjloknya bursa saham di AS serta melemahnya nilai tukar US Dolar terhadap mata uang Euro. Kekhawatiran tersebut jelas menggambarkan akan terpuruknya perekonomian AS serta memunculkan pesimisme baru dikalangan pelaku pasar. Yang seakan-akan memberikan kabar bahwa hal yang lebih buruk bisa saja akan segera terjadi.

Bahkan kinerja buruk yang terjadi di bursa saham wall street mengabaikan penurunan harga minyak serta tetap terpojok oleh sentimen negatif dari kedua perusahaan perumahan besar Amerika tersebut. Kejadian itu membuat Bank Sentral AS akan kembali membuat kebijakan guna menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan di sektor perumahan yang lebih dalam lagi.

Dibalik keterpurukan tersebut banyak pengamat yang memperkirakan bahwa kemungkinan yang akan terjadi nantinya akan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan saat ini. Sebuah kondisi yang mungkin diluar ekspektasi semua orang pada saat ini, walaupun masih hanya sekedar sebuah wacana.

Kegelisahan tersebut nantinya akan membuat US Dolar kembali terpuruk signifikan serta akan membuat harga minyak naik lebih tinggi lagi. Dalam perdagangan sepekan ini harga minyak sempat meroket ke level $147/barel. Kondisi ini akan membuat banyak negara terjebak dalam stagflasi. Dimana tidak ada pertumbuhan namun diiringi dengan meroketnya laju inflasi.

IMF juga memberikan statement serupa, dimana perekonomian yang sedang dihadapi saat ini berada diantara pertumbuhan yang stagnan yang dibarengi dengan laju inflasi yang tak terkendali. Namun lebih jauh IMF juga berpendapat bahwa negara yang tergolong dalam ekonomi berkembang (emerging market) memiliki kesempatan untuk selamat dari resesi lebih besar. Meskipun tidak dibarengi dengan alasan yang cukup kuat.

Dari kejutan-kejutan baru tersebut, Indonesia diperkirakan juga akan mengalami hal yang serupa terhadap penyesuaian-penyesuaian yang mungkin saja terjadi, sekalipun terhadap asumsi di dalam APBN. Karena dari sekian banyak asumsi, harga minyak dan inflasi tetap terus berubah-ubah sehingga APBN dituntut untuk lebih fleksibel lagi.

Meskipun tidak semudah membalikan telapak tangan, namun kondisi yang lebih buruk semestinya sudah dapat diantisipasi di depan. Sebelum melakukan penyesuaian yang terkadang dikatakan terlambat serta mempertaruhkan kredibilitas pemerintah. Sejauh ini perubahan yang terjadi pada harga komoditas minyak dunia, dicoba untuk ditepiskan dengan memberikan statement yang seolah-olah pemerintah masih sanggup untuk mengatasinya.

Misal, harga minyak dunia dikisaran level $145/barel masih akan membuat APBN tetap aman. Bayangkan sekarang harganya sudah di $147/barel. Mungkin pemerintah sudah menunjukan kegelisahannya dan berharap tidak ada kenaikan lagi. Namun, tensi perselisihan yang terjadi di Iran dan Israel tetap memberi peluang akan kenaikan yang tak terduga lagi. Semoga saja tidak.

No comments: