Monday, September 22, 2008

Mewaspadai Tradisi Inflasi Tinggi

Medan Bisnis, 1 September 2008
Lebaran sebentar lagi, Ramadhan telah tiba. Tradisi umat muslim Indonesia yang merayakan lebaran dengan berkumpul dengan sanak keluarga merupakan sebuah tradisi yang cukup unik, dan jarang terjadi di negara muslim lainnya. Semua orang tahu tradisi tersebut menjadi biang keladi terhadap timbulnya masalah transportasi yang disebabkan oleh adanya arus mudik dan balik. Dibalik banyak kebaikan bulan Ramadhan dan perayaan Lebaran, namun keduanya juga menyisakan masalah yang tak kalah penting yakni meningkatnya tekanan laju inflasi.

Walaupun keliatannya sudah biasa, namun tahukah kita bahwa kebiasaan menyediakan sesuatu yang istimewa (makanan) selama Ramadhan dan Lebaran juga memberikan tekanan di pasar uang. Kita lihat bagaimana korelasinya.

Harga telur, dan daging kembali mencatatkan kenaikan tinggi dibandingkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan tersebut bukan disebabkan oleh karena pasokannya yang berkurang namun dikarenakan oleh tingginya permintaan. Jadi, sekalipun pasokannya ditambah tetap akan sulit dalam menstabilkan harga.

Harga yang lebih mahal tentunya harus dibayar dengan jumlah uang yang lebih banyak pula. Meskipun terkadang bisa di tolerasnsi besarannya oleh setiap individu, namun pernahkah membayangkan besarannya apabila dikalikan dengan 200 juta lebih penduduk Indonesia.

Setiap ada penambahan jumlah uang yang beredar, yang diakibatkan oleh kenaikan harga, tentunya akan membuat nilai mata uang tersebut lebih murah dibandingkan dengan sebelum terjadi kenaikan harga. Misal, sebelum Ramadhan harga telur Rp. 500, di bulan Ramadhan harganya menjadi Rp. 600. Setiap keluarga diasumsikan mengkonsumsi 10 butir telur per hari. Kalau ada 50 Juta keluarga saja, bayangkan berapa banyak Rupiah yang telah dibuang untuk kenaikan Rp. 100 per butir telur.

Terlihat, ada penurunan nilai jual dari mata uang Rupiah, dimana rupiah lebih murah dibandingkan dengan telur yang Rp.100 lebih mahal. Kenaikan tersebut akan memberikan kontribusi bagi besaran inflasi. Apabila ternyata laju inflasi lebih besar dari perkiraan dan berada di atas asumsi APBN, maka kita juga tahu bahwa sulit bagi BI untuk menurunkan suku bunga, karena inflasi yang tinggi memberikan konskuensi bagi banyaknya jumlah uang beredar dan harus diserap dengan suku bunga tinggi, atau bahasa yang lebih halus memberikan insentif agar kita lebih rajin menabung daripada membelanjakan uang kita.

Dengan suku bunga yang tinggi, kita juga tahu bahwa sulit bagi kita untuk meminjam uang dari Bank. Nah, bagaimana kalau niat meminjam uang justru akan digunakan sebagai modal usaha. Bukankah membuka usaha akan menambah lapangan kerja, dan justru itulah yang diharapkan kita semua. Bukankah demikian.

Kembali lagi, tekanan laju inflasi yang membuat suku bunga tetap tinggi juga berdampak bagi peningkatan dana asing untuk ditanamkan di Indonesia. Para pemodal di seantero bumi ini selalu mencari tempat untuk mengkembangbiakan uangnya pada instrument yang memberikan imbal hasil yang tinggi. Dan Indonesia dikenal dengan suku bunga yang tinggi pula, dengan kenyaman investasi yang masih cukup aman.

Kalau BI rate tetap tinggi, maka dunia perbankan akan menetapkan suku bunga seperti Deposito dan bunga pinjaman dalam nominal yang tinggi pula. Dan satu hal yang perlu diperhatikan bahwa bukan hanya kita yang tinggal di Indonesia yang tertarik dengan imbal hasil tinggi, namun mereka yang tinggal diluar Negara kita tentunya juga akan berminat untuk menanamkan uangnya di negeri ini.

Dengan sistem keuangan yang terintegrasi secara global, sulit bagi kita untuk tidak membiarkan dana-dana panas tersebut (asing) berkembang biak di negeri ini. Kalau mereka menyimpan dalam jumlah nominal yang cukup signifikan, bayangkan bagaimana bunga yang harus dibayar oleh kita ke mereka. Sialnya lagi bunga atau keuntungan yang mereka terima akan mereka bawa pulang, sehingga apa yang kita dapat!.

Kita tahu bahwa harga minyak dunia saat ini mencoba untuk kembali merangkak naik, dan kita juga harus tahu bahwa negeri ini juga membeli minyak dari luar untuk memenuhi kebutuhannya. Dan seharusnya kita tahu bagaimana kenaikan harga minyak dunia telah membuat pemerintah kita menaikan harga BBM dan membuat inflasi meroket.

Kita hanya mengambil satu contoh dalam kasus telur, namun kita harus menyadari bahwa kenaikan tidak hanya terjadi pada harga telur saja. Umumnya semua harga sembako akan mengalami kenaikan pada hampir setiap perayaan keagamaan. Tanpa kita sadari bahwa pola konsumsi yang cenderung meningkat selama bulan Ramadhan serta perayaan keagamaan lainnya ternyata meninggalkan masalah di sisi lain. Yang tanpa disadari menjadi biang keladi terhadap masalah yang kita hadapi seperti transportasi, inflasi, pengangguran dan bisa merambah ke masalah resesi.

Berani hidup di bawah standart, dengan tetap tidak merubah pola konsumsi selama Ramadhan ini dan Lebaran nanti, akan lebih banyak memberikan manfaat yang besar serta tetap mebawa kita kepada kemenangan. Bukankah substansi berpuasa dan lebaran bukan pada makanan-makanan yang enak, pakaian mewah, maupun pemenuhan kebutuhan yang lebih dari biasanya.

Dan tahukah kita bahwa THR (Tunjangan Hari Raya) juga telah membuat kita lebih konsumtif. Jika semua karyawan yang bekerja mendapatkan THR, bayangkan berapa potensi jumlah uang yang akan dibelanjakan, bayangkan bagaimana jumlah uag beredar dan bayangkan juga akibatnya. Walaupun hanya bersifat musiman, namun bukankah tuhan juga tidak mau kita menyepelekannya.

No comments: