Monday, September 22, 2008

Mata Uang Asia Terpuruk

sxqdqMedan Bisnis, 8 September 2008
Rupiah kembali melemah dan menembus level diatas 9300/US Dolar. Pelemahan tersebut seiring dengan melemahnya beberapa mata uang asia seperti Won Korea, Kiwi (Newzealand Dolar), Baht Thailand serta beberapa mata uang asia lainnya. Kisruh politik di Thailand diyakini menjadi pemicu utama melemahnya Rupiah belakangan ini.

Kebijakan Bank Indonesia yang menaikan suku bunga acuan atau biasa disebut dengan BI rate, tidak berpengaruh banyak bagi pergerakan nilai tukar Rupiah yang masih terpuruk. Kondisi geopolitik di kawasan asia sepertinya lebih dominan dan mempengaruhi kinerja nilai tukar Rupiah dari hanya sekedar menaikan BI Rate.

Selain itu, mata uang US Dolar kian menunjukan keperkasaannya terhadap hampir semua mata uang di dunia seiring dengan penurunan ekonomi global yang mewabah di kawasan Eropa. Tercatat mata uang Euro sempat mencatatkan level paling rendah (05/09). Pelemahan tersebut dipicu oleh pernyataan dari ECB (European Central Bank) yang menyatakan bahwa perekonomian Eropa masih lemah. Kondisi tersebut juga diperparah dengan pernyataan dari Perdana Menteri Luxemburg yang menyatakan bahwa nilai tukar Euro masih cukup tinggi.

Selain itu Bank Sentral Eropa atau ECB juga menurunkan prediksi angka pertumbuhan selama tahun 2008 ini menjadi 1.4%, sebelumnya ECB memprediksikan bahwa perumbuhan ekonomi di tahun 2008 sebesar 1.8%. Bukan hanya itu, prediksi pertumbuhan di tahun 2009 juga dipangkas turun dari sebelumnya sebesar 1.5% menjadi 1.2%.

Belum habis pembicaraan mengenai laju pertumbuhan ekonomi eropa yang kian melemah. Inflasi di kawasan Euro juga diperkirakan masih akan naik lagi. ECB memprediksikan selama tahun 2008 ini inflasi yang terjadi sebesar 3.5%, lebih tinggi dari prediksi sebelumnya sebesar 3.4%. Selain itu, inflasi ditahun 2009 juga direvisi lebih tinggi lagi, dari semula sebesar 2.4% menjadi 2.6%.

Hal tersebut mencerminkan bahwa perekonomian di zona eropa belum menunjukan adanya tanda perbaikan. Sehingga banyak investor yang melepas mata uang dalam Euro ke mata uang US Dolar. Hal tersebut diyakini turut menjadi pemicu menguatnya US Dolar terhadap mata uang dunia.

Penguatan US Dolar juga didorong oleh sentimen ketidak percayaan terhadap pasar komoditi. Berita kehancuran perusahaan komoditi terbesar dunia Osprae Management LLC telah membuat investor berpikir 2 kali mengalihkan dananya ke bursa komoditi. Sehingga membuat US Dolar terlihat lebih aman dibandingkan dengan produk investasi lainnya.

Harga komoditas yang kembali turun seperti emas ternyata juga memberikan efek negatif pada mata uang Newzealand Dolar atau biasa disebut dengan Kiwi. Hal tersebut turut memberikan sentimen bagi mata uang komoditas lainnya seperti Australian Dolar.

Dibalik penguatan mata uang US Dolar, justru berita buruk datang dari negeri paman sam itu sendiri. Berita mengenai tingkat pengangguran di AS yang meningkat menjadi 6.1% pada saat ini tentunya memberikan sentimen negatif bagi pergerakan mata uang US Dolar kedepan. Level tersebut merupakan level tertinggi selama 5 tahun terakhir.

Negeri paman sam banyak kehilangan pekerjaan pada beberapa sektor seperti manufaktur, service dan retail, seperti yang di beritakan oleh departemen tenaga kerja AS. Selama bulan Agustus perekonomian AS telah kehilangan 84.000 pekerjaan atau sekitar 605.000 pekerjaan terhitung sejak bulan januari.

Padahal perekonomian AS seharusnya mampu menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan baru setiap bulan guna menampung jumlah tenaga kerja baru. Dengan kondisi ini maka rata-rata perbulan perekonomian AS kehilangan sekitar 23.500 pekerjaan dalam satu tahun terakhir. Data tersebut tentunya akan menjadi berita negatif dan memberikan tekanan bagi nilai tukar US Dolar.

Kembali ke Rupiah, akibat makkin perkasanya US Dolar Rupiah kembali terpuruk dikisaran level 9.329/US Dolar. Kondisi dimana banyak analis yang sudah memperkirakan sebelumnya bahwa pada saat Rupiah menembus level 9.200/US$ maka ada kemungkinan Rupiah terpuruk lebih dalam lagi. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan langkah BI yang telah menaikan BI rate.

Selain itu, kondisi US$ yang menguat juga justru tidak ditopang dengan fundamentalnya yang kuat. Banyak pertanyaan kenapa Rupiah terus kian terpuruk. Namun, beberapa hal seperti tekanan inflasi domestik yang kemungkinan akan kembali meningkat selama Ramadhan serta diperburuk kondisi geopolitik di Asia seperti kemungkinan kudeta di Thailand akan menjadi sentimen negatif bagi Rupiah. Meskipun Jumat kemarin US Dolar mendapat berita yang tidak sedap dari departemen tenaga kerjanya, namun bukan berarti Rupiah akan kembali menguat secara signifikan terhadap US Dolar, bisa jadi justru yang sebaliknya.

No comments: