Wednesday, January 25, 2012

Demokrasi Sebagai Ideologi Ekonomi

Medan Bisnis, 21 februari 2011

Menurut Paul Samuelson, Economics is a science of choice, Ekonomi merupakan ilmu pengetahuan dalam membuat pilihan. Pilihan tersebut bisa di urutkan berdasarkan skala prioritas. Dimana setiap pembuat kebijakan menentukan prioritas tersebut tentunya berdasarkan ilmu pengetahun, pengalaman ataupun hal-hal lain yang mempengaruhi si pembuat kebijakan. Baik seorang presiden, menteri, pengusaha atau siapa saja yang memikul tanggung jawab dalam menentukan sebuah kebijakan.

Husni Mubarak, mantan presiden Mesir yang baru seminggu lalu mengundurkan diri tentunya mempunyai skala prioritas sehingga dia harus mundur dari jabatannya. Aksi demonstrasi yang telah merenggut banyak nyawa dan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama dinilai berhasil menjatuhkan Husni Mubarak. Dan tentunya keputusan Husni Mubarak mundur karena lebih memprioritaskan keinginan masyarakatnya yang menuntut mundur.

Bahkan, Pelaku pasar bersorak gembira setelah presiden Mesir menyerah seiring denngan ratusan ribu rakyatnya yang meminta dirinya untuk turun. Hosni Mubarak akhirnya menutup tiga dekade pemerintahan otokratisnya. Pengumuman pengunduran diri husni Mubarak disampaikan oleh Wakil Presiden Omar Suleiman yang disiarkan oleh stasiun TV lokal.

Belajar dari pengalaman Indonesia, aksi demonstrasi besar-besaran di tahun 1997-1998 ternyata telah merubah semua tatanan kehidupan masyarakat di saat itu. Salah satunya adalah tatanan ekonomi masyarakat kita yang memang sedang terpuruk. Demokrasi menjadi idiologi yang harus benar-benar ditegakkan dengan mengedepankan semua aspirasi masyarakatnya.

Namun, dari semua proses perjalanan mulai tahun 1997 hingga saat ini. Yang terlihat adalah kedewasaan masyarakat kita dalam berdemokrasi memang terus membaik, namun adakah perbaikan dari sisi ekonomi?. Atau sebenarnya kita sedang dalam proses menuju ke tatanan ekonomi yang lebih baik sehingga kurang tepat kiranya kita bicara mengenai keberhasilan dalam pembangunan ekonomi kita pada saat ini.

Kalau dari sisi pemerintah selama ini, pembangunan ekonomi selalu diiringi dengan peningkatan PDB (produk domestik bruto) dan tercermin dalam laju pertumbuhan ekonomi. Namun, masyarakat kita menilai perbaikan ekonomi dimulai dari membaiknya daya beli dalam masyarakat kita. Sehingga ada yang belum match antara asumsi pertumbuhan ekonomi dengan fakta yang dialami masyarakat kita.

Bila dilihat jauh kebelakang, masyarakat kita belum puas juga terhadap kinerja semua pemimpin yang pernah memimpin Indonesia, Dari jaman Sukarno hingga era SBY saat ini. Apa yang membuat masyarakat kita begitu apatis terhadap pemerintahan kita? Mungkinkah masyarakat kita menilai bahwa pemerintah belum berhasil karena daya belinya belum membaik juga?. Bisa jadi ya.

Di era Suharto, dimasa Suharto dijadikan sebagai Bapak Pembangunan. Saat itu laju pertumbuhan ekonomi kita berada dikisaran angka 7 persen setiap tahunnya. Dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar itu tercipta lapangan kerja yang mumpuni bagi semua warganya. Mungkin terpikir namun tidak mau dipikirkan oleh masyarakat kita bahwa Suharto terus memimpin tanpa ada perubahan kepemimpinan di negeri ini, atau biasa dikenal dengan otoriter dimasa itu.

Masyarakat kita masuk dalam zona nyaman dimana kesejahteraan menjadi indikatornya saat itu. Dan apa yang terjadi di Mesir dan Negara arab lainnya merupakan bentuk dari ketidakpuasan masyarakatnya yang juga dipicu oleh menurunnya daya beli serta tidak terjangkaunya harga pangan dunia. Indonesia saat ini menjadi Negara dengan tingkat kenaikan harga pangan tertinggi di Dunia. Namun tidak terlihat adanya demonstrasi secara besar2an di masyarakat kita.

Ada korelasi yang kuat antara demokrasi dengan budaya masyarakat kita. Disaat harga pangan naik, masyarakat tidak langsung menyalahkan pemerintahnya. Namun, mungkin lebih memilih introspeksi, karena pemerintahan saat ini merupakan hasil dari pilihannya sendiri. Namun, kebijakan pemerintah seharusnya juga lebih memprioritaskan masyarakat dalam skala piilihannya sebelum membuat kebijakan strategis.

No comments: