Wednesday, January 25, 2012

Libya, Harga Minyak dan Pembatasan BBM

Medan Bisnis, 28 Februari 2011

Harga minyak mentah akhir-akhir ini melonjak lebih dari delapan persen seiring dengan meningkatnya kekerasan di Libya. Lonjakan harga terjadi setelah pemimpin Libya Muammar Kadhafi pada hari Selasa minggu lalu memerintahkan pasukannya untuk menumpas pemberontakan yang telah mengguncang pemerintahannya 41 tahun. Libya merupakan Negara pengekspor minyak terbesarke empat di afrika. Setelah Nigeria, Aljazair dan Angola.

Libya memproduksi 1,8 juta barel per hari dan sekaligus menjadi negara penghasil minyak terbesar ke-9 di dunia. Selain itu, Libya juga memiliki cadangan minyak sebesar 47 miliar barrel dan cadangan gas sebesar 54 triliun kubik. Terlihat jelas bagaimana kaitannya harga minyak dengan kerusuhan di Libya. Dengan meningkatnya ketegangan disana tentunya akan mempengaruhi persedian harga minyak yang memicu meroketnya harga minyak dunia.

Wajar kiranya kita menyimpulkan bahwa krisis Libya ini memiliki dampak secara global. Dan yang paling terpukul adalah pasokan minyak kepada negara Barat. Harga minyak di pasaran dunia saat ini meroket mencapai lebih dari USD100/barel. Minyak yang diproduksi Libya merupakan jenis terbaik dan dibutuhkan bagi industri di Benua eropa. Kerusahan yang telah menelan korban jiwa sangat banyak tersebut memaksa sejumlah perusahaan minyak menghentikan produksinya.

Banyak Negara yang terus melakukan evakuasi warganya yang tinggal di Libya termasuk Indonesia. Kerusuhan di Libya setidaknya telah memutuskan harapan pemulihan ekonomi dunia setelah krisis sektor perumahan yang melanda AS dan Eropa. Pemulihan ekonomi sepertinya akan kembali tersangkut dan kita harus menunggu waktu yang lebih lama lagi.

Libya dan sejumlah Negara di timur tengah masih akan menghadapi krisis politik seiring dengan pergantian rezim yang belum tuntas. Ketidakpastian tersebut sepertinya akan berlanjut dalam kurun waktu yang cukup lama jika kita berkaca pada kejadian di Indonesia tahun 1997-1998 silam. Dan selama itu pula harga minyak akan terus dipertaruhkan dan bisa saja menggiring ke harga yang lebih mahal lagi.

Walau demikian, krisis tersebut berdampak positif terhadap penguatan nilai tukar Rupiah. Capital inflow masih terus mengalir ke negeri ini. Sebuah fenomena yang lazim karena Negara kita masih menjadi pasar potensial yang memberikan imbal hasil bila dilihat dari suku bunganya. Ada berkah yang kita terima dari krisis di Libya meskipun pada dasarnya hanya berbentuk Hot Money yang bisa kapan saja keluar dari negeri ini.

Yang pasti tidak hanya Indonesia saja, banyak Negara lain yang dijadikan tempat alternative dalam “mengembang biakan” uang. Indonesia hanyalah satu dari beberapa Negara. Namun sebagai Negara yang juga mengimpor minyak untuk memnuhi kebutuhan dalam negeri. Konsekuensinya adalah kebutuhan akan minyak tersebut harus di bayar lebih mahal pada saat ini. Kedepan kekhawatiran akan resiko cepat atau lambat pasti datang.

Beban APBN untuk mensubsidi kebutuhan minyak tentunya akan terus membengkak. Kalau asumsi harga minyak mentah terus di bawah harga pasar saat ini, maka yang terjadi adalah rasionalisasi harga BBM. Kita sudah mengetahui bahwa pemerintah berencana melakukan pembatasan subsidi BBM guna mengurangi beban yang semakin besar. Melihat kondisi saat ini rencana pemerintah tersebut hanya tinggal menunggu waktu. Yang sepertinya tidak akan lama lagi di realisasikan.

Resiko Inflasi tentunya akan kian memaksa Bank Indonesia kembali menaikan suku bunganya. Pasar keuangan biasanya akan merespon lebih cepat jika harga minyak naik lagi. Rasionalisasi di pasar keuangan akan mengarahkan IHSG ke tren turun sementara nilai tukar Rupiah digiring menguat (jika capital inflow masuk kedalam instrumen keuangan berbasis surat hutang).

Untuk sementara pasar keuangan kita terlihat aman, namun dipenuhi sesak dengan modal jangka pendek. Nah, sektor riil yang akan merespon negatif. Terlebih bila harga pangan tak kunjung turun. Ada pilihan tentunya dalam membuat kebijakan, tentunya berdasarkan skala prioritas. Terlihat jelas ketidakpastian di dunia luar berdampak pada sektor riil negeri ini. Jangan sampai salah melangkah sehingga krisis di luar justru menyebar ke negeri ini yang jelas tatanan demokrasinya jauh lebih baik dari mereka yang dilanda krisis saat ini.

No comments: