Tuesday, December 04, 2012

Gunjang Ganjing Rupiah Belum Akan Berakhir


Medan Bisnis, 3 September 2012

Nilai tukar Rupiah dalam perdagangan setelah liburan panjang kemarin terus mengalami tekanan. Dari kisaran 9.500 an per US Dolar di hari pertama perdagangan (setelah idul fitri), rupiah saat ini sempat diperdagangkan dikisaran level 9.580 hingga 9.600. Banyak alasan yang membuat nilai tukar Rupiah melemah, salah satunya adalah proes penyelesaian krisis di Eropa yang tak kunjung selesai. Sehingga memicu menguatya nilaii tukar US Dolar.

Pelemahan Rupiah juuga diikuti oleh pelemahan yang terjadi pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sepertinya Rupiah akan masih melanjutkan perdagangan dengan volatilitas yang tinggi serta memiliki arah pergerakan yang masih sulit untuk diperkirakan. Mengapa? Karena ada campur tangan (intervensi) dari otoritas bursa sehingga memungkinkan Rupiah untuk tertahan di level tertentu.

Permintaan komoditas dari pasar domestik menurun seiring dengan krisis yang terjadi di sejumlah negara maju seperti Eropa dan Amerika. Hal ini tentunya akan mengurangi jumlah pasokan valas di dalam negeri, yang bisa berbuntut pada melemahnya nilai tukar Rupiah. Indonesia masih mengandalkan komoditas pertanian seperti sawit dan karet sebagai komoditas ekspor.

Semetara itu, memburuknya kondisi perekonomian di sejumlah negara seperti Eropa, China, Amerika dan Jepang membuat permintaan akan komoditas lokal menurun. Yang paling buruk adalah permintaan akan karet alam. Harga karet pun merosot hingga 40% akibat permintaan turun. Pelemahan nilai tukar Rupiah akhir-akhir ini memang menolong harga karet di tingkat petani, namun tajamnya penurunan permintaan akan karet tidak mampu membawa harga karet kembali ke level normal.

Tidak seburuk dengan harga karet, harga sawit juga mengalami penurunan meskipun masih relatif lebih baik dibandingkan dengan karet. Pelemahan US Dolar memberikan angin segar terhadap kinerja ekpsor CPO. Namun, kekhwatiran justru muncul pada sisi impor. Tingginya impor saat ini telah membuat defisit yang melebar dan menekan nilai tukar Rupiah.

Walaupun sejumlah menteri menyatakan bahwa peningkatan impor barang disebabkan oleh barang barang modal. Namun, pelemahan Rupiah seharusnya tidak dibiarkan terlalu dalam mengingat peningkatan impor barang modal tersebut berpotensi menambah laju tekanan inflasi. Tingginya impor yang dibarengi dengan penguatan US Dolar terhadap sejumlah mata uang asing akan menambah tekanan terhadap Rupiah.

Bila hal ini terjadi secara terus menerus, maka besar kemungkinan Rupiah akan terus tertekan dan bisa saja melewati level psikologis 9.600 dan menuju ke level yang lebih tinggi. Bila BI melakuan intervensi, maka hal tersebut bisa saja sia sia dengan catatan sebagai berikut : Tren penguatan US Dolar berlanjut di pasar internasional, defisit tidak mampu dikurangi, semakin memburuknya perekonomian di sejumlah negara di Asia seperti China, India dan Jepang serta tingginya ancaman inflasi.

Namun, di akhir perdagangan miinggu kemarin, Rupiah diperdagangkan menguat tipis. Penguatan dipicu oleh tren pelemahan US Dolar terhadap sejumlah mata uang utama dunia. Kenapa? Karena Bank Sentral AS memberikan pernyataan akan berbuat sesuatu terhadap memburuknya perekonomian AS akhir-akhir ini.

Pelaku pasar menterjemahkan pernyataan tersebut dengan adanya kemungkinan stimulus (quantitative easing) jilid 3. Sayangnya itu masih spekulasi saja. Belum ada keputusan konkrit mengenai apa yang akan dilakukan The FED ssecara pastinya. Sehingga otoritas keuangan kita jangan terlalu berharap terlebih dahulu terhadap penguatan Rupiah sseiring dengan rncana The FED nantinya.

Karena sejumlah data perekonomian AS justru merealiasikan data yang cukup bagus. Sehingga akan berpengaruh terhadap keputusan-keputusan yang tidak akan menggelontorkan stimulus. Dan bila itu terjadi maka Rupiah bisa terpuruk lebih dalam lagi. Sehingga wajar kiranya bila Bank Indonesia menyatakan bahwa Rupiah menuju ke titik keseimbangan baru.

Kedepan, Rupiah masih akan diperdagangkan dibawah tekanan. Membaiknya nilai tukar Rupiah sangat bergntung dengan aliran investasi yang masuk ke Indonesia (capital inflow). Dengan memburuknya sejumlah indikator ekonomi baik di negara eropa, amerika dan asia. Maka besar kemungkinan Rupiah akan terus menyesuaikan (mengalami penurunan) terhadap US Dolar. Sementara itu sentimen-sentimen yang mampu mendongkrak Rupiah belum kunjung datang, kecuali Bank Indonesia melakukan intervensi yang bisa saja menggerus cadangan devisa kita. 

No comments: