Medan Bisnis, 22 Oktober 2012
Pemerintah
berencana untuk melakukan kebijakan pembatasan ekspor sawit seiring dengan
turunnya harga sawit mentah (CPO) di pasaran dunia. Petani di SUMUT sebagai
penghasil sawit tidak bisa menghindari rontoknya harga sawit saat ini.
Tingginya persediaan seiring dengan puncak musim panen membuat pemerintah tak
berdaya menahan kejatuhan harga CPO di dalam negeri.
Di Malaysia persediaan CPO mencapai 2.4mn Ton pada
bulan september 2012. Persediaan tersebut merupakan tingkat tertinggi dalam 5
tahun terakhir. Dalam satu bulan persediaan CPO di malaysia naik 17% atau
sekitar 0.4mn Ton. Sementara itu, produksi justru terus mengalami kenaikan
dalam kurun waktu sebulan sebesar 20% atau sebesar 2mn Ton. Sementara itu laju
ekspornya justru hanya naik 1.5mn Ton.
Sehingga persedian CPO di pasar dunia masih sangat tinggi dan
berpeluang menekan harga sawit yang saat ini ditingkat level petani kita Rp.700
per Kg. Dan yang paling buruk adalah data yang ditujukan oleh societe generale
de surveilence dimana ekspor CPO malaysia dalam 10 hari terkahir di bulan
september mengalami penuruan 8.7% dibandingkan 10 hari pertama bulan september
lalu.
Untuk
menaikkan harga sawit pemerintah di kedua negara yakni Malaysia dan Indonesia
sepakat untuk mengendalikan ekspor di bawah kebijakan masing-masing. Indonesia
dan Malaysia merupakan negara penghasil CPO terbesar yang menguasai 85% pasokan
CPO dunia. Dan Indonesia sendiri menguasai 50% pasokan CPO dunia. Malaysia
berencana untuk mengurangi bea keluar menjadi sekitar 8%-10% dari bea keluar
saat ini yang sebesar 23%.
Pemerintah Malaysia juga tengah melakukan replanting terhadap
100.000 hektar perkebunan sawit yang usianya melebihi 35 tahun. Kebijakan
tersebut akan mengurangi 300.000 ton produksi kelapa sawit. Indonesia dapat melakukan beberapa hal guna menahan
pelemahan harga sawit, seperti menetapkan bea keluar murah atau bahkan Rp.0. Melakukan
replanting terhadap sawit yang sudah tua, dari sisi moneter dapat melakukan
pelemahan terhadap mata uang Rupiah/US Dolar -yang memang sejauh ini terkesan
dibiarkan melemah-.
Namun,
muncul wacana bahwa pemerintah akan membatasi ekspor agar harga kelapa sawit
dapat terdongkrak naik. Sejauh ini, wacana tersebut memang akan berdampak pada
kenaikan harga sawit. Akan tetapi, rencana membatasi ekspor sawit tersebut
tentunya hanya akan membuat petani sawit semakin terpuruk nasibnya.
Sejauh
ini yang menjadi permasalahan murahnya harga sawit adalah tingginya persediaan
yang ada di dua negara penghasil sawit dunia (Indonesia dan Malaysia) serta
menurunnya permintaan kelapa sawit dari negara luar. Sebenarnya juga ditambah
satu masalah lagi, yakni penyerapan CPO yang rendah untuk dijadikan produk
turunan kelapa sawit itu sendiri di tanah air.
Melihat
dari tingginnya persediaan serta rendahnya permintaan, maka pembatasan ekspor
sawit tidak akan memberikan dampak signifikan khususnya bagi petani sawit.
Karena pembatasan ekspor sawit justru akan tetap membuat sisi persediaan
(supply) akan semakin besar, khususnya di level petani. Sehingga kenaikan harga
CPO yang tengah diharapkan tidak akan merubah nasib para petani sawit kita.
Petani
akan menghadapi dilema yang luar biasa bila wacana pembatasan ekspor sawit
benar-benar dilakukan. Dilema yang dimaksud adalah apakah petani akan memanen
dan menjual sawitnya atau tidak melakukan apapun terhadap perkebunan sawitnya
sendiri di tengah himpitan harga sawit yang kian murah saat ini. Karena memanen
membutuhkan biaya, sementara harga sawit dari hasil panen belum tentu dapat membiayai
kehidupan para petani.
Meskipun
nantinya harga CPO naik jika pembatasan ekspor dilakukan. Namun, di tingkat
petani persediaan justru akan semakin menggunung sehingga harga sawit di level
petani tidak akan searah (linier) dengan kenaikan harga CPO di dunia. Harga CPO
dunia yang naik hanya akan membuat perbedaan harga dunia dan harga di tingkat
petani akan semakin melebar.
Bila
mengoptimalisasi produk turunan (hilir) dari sawit maka kesimpulannya adalah
kita sudah terlambat. Perlambatan ekonomi dunia tengah memasuki titik paling
bawah dan justru akan berpotensi berbalik naik. Bila nantinya sejumlah negara
besar tersebut mengalami pertumbuhan, maka dengan sendirinya harga sawit akan
berbalik naik.
Sehingga kesimpulannya adalah kita tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk menaikan harga sawit di level petani. Namun kita belum terlambat sepenuhnya, optimalisasi penyerapan CPO di dalam negeri untuk pengembangan industri hilir memang akan bermanfaat bagi petani sawit kita dalam jangka panjang. Bagi para petani, percayalah badai ini akan berlalu. Bila pemerintah kita serius membangun industri hilir dan pertumbuhan ekonomi dunia membaik, maka di saat itu petani sawit kita akan menjadi petani paling sejahtera diantara semua jenis petani di Indonesia.
No comments:
Post a Comment