Tuesday, December 04, 2012

Stimulus AS Dan Perekonomian SUMUT


Medan Bisnis, 17 September 2012

Sejumlah bursa didunia menyambut baik langkah The FED (Bank Sentral AS) yang menggelontorkan stimulus sebesar $ 40 Milyar setiap bulan untuk membeli hutang hipotek. Sejumlah bursa larut dalam euphoria yang membuat indeks bursa dunia melesat tajam. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ikut menguat di atas 2% mendengar kabar baik tersebut. Buntut dari stimulus juga membuat nilai tukar US Dolar melemah terhadap sejumlah mata uang utama dunia termasuk Rupiah.

Stimulus oleh pelau pasar modal dinilai sebagai langkah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dengan stimulus diharapkan masyarakat AS akan membaik daya belinya sehingga akan meningkatkan permintaan akan barang yang termasuk sejumlah komoditas yang ada di Indonesia maupun barang-barang jenis lainnya. Stimulus menjadi awal baru bagi kinerja emiten di Bursa yang selama akhir-akhir ini diperdagangkan relatif tidak bergerak.

Apakah semua menyambut baik stimulus tersebut?. Tentunya tidak. Resiko mata uang US Dolar semakin membesar dengan diterbitkannya stimulus tersebut. Selain itu stimulus juga akan menambah jumlah uang beredar (US Dolar) semakin berlimpah yang akan mengakibatkan likuiditas akan semakin membesar dan bia berkaibat pada tingginya laju inflasi. Namun, untuk saat ini inflasi yang terjadi justru lebih dinantikan karena besaran inflasi menggambarkan adanya pertumbuhan ekonomi.

Khusus untuk Sumatera Utara, Simulus AS bisa memberikan dampak baik negatif dan positif. Sisi positifnya yaitu stimulus AS akan berdampak pada pemulihan daya beli masyarakat disana. Sejumlah komoditas yang biasa diekspor dari SUMUT seperti karet tentunya berpeluang untuk mengalami kenaikan. Sejumlah komoditas dari SUMUT lainnya juga berpeluang naik bila stimulus itu benar-benar efektif dalam memperbaiki ekonomi di Amerika.

SUMUT merupakan wilayah yang memiliki keunggulan sumber daya alam khususnya sawit, karet maupun kopi. Sehingga wajar ekonomi SUMUT sangat dipengaruhi oleh permintaan sejumlah komoditas oleh negara lainnya termasuk Eropa dan Amerika. Walaupun sejauh ini ekspor sawit Indonesia sudah beralih ke dua negara besar asia seperti China dan India. Kedua negara di Asia tersebut saat ini menjadi importir tebesar sawit terbesar Indonesia selanjutnya diikuti oleh Eropa dan Amerika.

Sehingga sisi negatif yang bisa menekan harga komoditas di SUMUT terkait dengan stimulus di AS adalah penguatan nilai tukar Rupiah itu sendiri. Sebelumnya, Rupiah sempat bertengger di kisaran Rp.9.600/US Dolar sebelum stimulus dikeluarkan. Saat ini, pasca dikeluarkannya stimulus AS, Rupiah menguat tajam dan berada di kisaran Rp.9.540/US Dolar. Penguatan tajam tersebut jelas akan menjerumuskan harga komoditas SUMUT bila tidak diikuti oleh permintaan yang tinggi di negara importir.

Tentunya eksportir dari SUMUT dirugikan dengan penguatan nilai tukar Rupiah. Karena devisa hasil ekspor yang diterima akan menjadi lebih kecil bila dikonversikan ke Rupiah. Dan hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada harga komoditas pada tingkatan level petani. Petani SUMUT yang sudah mengeluh karena rendahnya harga karet maupun sawit harus terus lebih bersabar lagi karena kondisi perekonomian global tengah tidak bersahabat.

Bila mengharapkan harga komoditas membaik maka satu harapannya adalah adanya perbaikan harga komoditas di tingkat internasional. Tingginya permintaan komoditas akan memicu naiknya harga komoditas tersebut sehingga mampu mengimbangi penguatan nilai tukar Rupiah, yang secara jelas dari sisi lain akan membebani harga komoditas di level petani. Namun, bila itu harapannya dan terjadi dalam waktu singkat sepertinya tidak akan mungkin.

Kenapa?, karena efektifitas dari Stimulus AS belum teruji. Langkah pemerintah AS yang juga pernah menerbitkan stimulus sebelumnya (I dan II) juga tidak berdampak signifikan bagi perekonomian AS itu sendiri. Sehingga dibutuhkan waktu untuk menguji efektifitas dari stimulus AS sebelum menyimpulkan bahwa AS benar-benar pulih dan keluar dari krisis keuangan.

Di sisi yang lain, ekonomi Eropa juga belum menunjukan adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan pasti. Gunjang-ganjing ekonomi Eropa masih akan terus membayangi perekonomian SUMUT. Di saat ekonomi Indonesia tengah menghadapi krisis (97/98) harga komoditas dari SUMUT mampu bertahan karena ekspor komoditas SUMUT tidak begitu terganggu seiring masih tumbuhnya perekonomian negara luar.

Untuk saat ini, seiring dengan memburuknya kondisi perekonomian global. Gangguan terhadap ekonomi SUMUT masih akan begitu terasa walaupun sejumlah indikator ekonomi dari luar menunjukan adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Pemerintah daerah harus mampu membentuk kreatifitas guna memaksimalkan SDA yang dimiliki. Salah satunya dengan memacu pertumbuhan industri di sektor hilir yang akan lebih mengoptimalkan produk-produk komoditas SUMUT. 

No comments: