Thursday, February 02, 2012

Belajar dari Gerakan Occupy Wall Street

Medan Bisnis, 21 November 2011
Occupy Wall Street yang bila diterjemahkan memiliki arti menduduki Wall Street merupakan gerakan yang dilakukan oleh seratusan orang di Amerika terhadap kebijakan yang dinilai keliru dalam sistem ekonomi liberal. Wall street adalah tempat diperjual belikannya efek di AS. Kita biasa mengenalnya dengan nama BEI (Bursa Efek Indonesia) di negeri ini. Protes berawal dari dana talangan kepada perusahaan-perusahaan besar di AS yang memberikan keuntungan pada kelompok kelompok tertentu saja.

Manfaat serupa tidak dirasakan oleh masyarakat secara luas. Justru hutang-hutang korporasi besar tersebut telah membelit Amerika Serikat yang berujung pada krisis yang tidak berkesudahan. Ekonomi Amerika sendiri justru mengarah pada gagal bayar. Seperti itulah setidaknya kerangka berfikir para pemrotes.

Namun, bila dilihat dari sisi lainnya. Liberalisasi yang dilakukan oleh Amerika sebenarnya juga telah menjadikan masyarakat Amerika menjadi masyarakat kaya. Dan bukankah kondisi para pemrotes saat ini juga merupakan hasil dari sistem liberal yang dianut. Kesimpulan sementara adalah dampak negatif dari sistem ekonomi itu sendiri sebenarnya belum bisa diterima oleh sebagian masyarakat AS itu sendiri.

Pemrotes berpendapat bahwa hanya 1% dari masyarakat Amerika yang hidup kaya raya, 99% selebihnya hidup dengan kondisi yang bertolak belakang. Mestinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi, maka secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat yang digambarkan dengan daya belinya pasti meningkat. Namun meskipun demikian, nyatanya tingginya pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh beberapa kelompok masyarakat dan tidak terdistribusi secara luas serta mewakili masyarakat AS secara keseluruhan.

Begitulah sudut pandang lain dari pemrotes. Namun kita tentu sepakat bila dibandingkan kehidupan masyarakat AS dengan kebanyakan Negara berkembang sudah pasti mereka (masyarakat AS) hidup di atas rata-rata pendapatan masyarakat berkembang seperti Indonesia. Apa yang salah? Jawabannya adalah penyesuaian diri.

Memiliki suatu kehidupan maupun rutinitas yang berubah tentunya memerlukan penyesuain diri. Anggota tubuh tentunya butuh waktu dalam penyesuaian tersebut. Meskipun bukan tidak mungkin dilakukan dengan cara instant. Nah, masyarakat AS yang sebelumnya hidup dengan kecukupan harus menerima kenyataan pahit dengan menurunnya tingkat pendapatan akibat krisis yang melanda.

Jelas sekali terlihat bahwa ekonomi memiliki peran vital dalam keberlangsungan hidup suatu Negara. Masalah-masalah sosial secara otomatis akan muncul bila kegiatan ekonomi tidak berputar sebagaimana mestinya. Bukan hanya occupy wall street yang sedang hangat-hangatnya di AS. Bentuk kejahatan lainnya juga berpeluang muncul bila AS tidak segera keluar dari krisis.

Gerakan occupy wall street belum menyebar sampai ke Indonesia. Meskipun potensinya tetap ada. Apalagi masalah kesenjangan pendapatan masyarakat di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak era 80-an hingga saat ini. Kesenjangan seharusnya mulai diubah menjadi pemerataan sehingga tidak ada lagi perbedaan. Kesenjangan bukan hanya terjadi di masyarakat. Kesenjangan antar wilayah di Indonesia masih ada seperti ketertinggalan pembangunan di masayarakat wilayah timur bila dibandingkan dengan pulau jawa.

Occupy wall street kita harapkan tidak menjadi occupy BEI. Walaupun pendukukan bursa di AS oleh pemrotes belum meluas hingga ke permasalahan sosial yang lain seperti yang terjadi di Yunani. Namun, Indonesia harus belajar dari kejadian tersebut. Kekuatan ekonomi yang super power bukan jaminan sebuah pembangunan yang berkelanjutan tanpa ada fase penurunan.

Ciptakanlah sebuah pembangunan yang tidak terlalu agresif dengan hanya menekankan pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Namun kestabilan serta pertumbuhan ekonomi yang konstan yang seharusnya lebih ditekankan. Walaupun belum ada sistem ekonomi modern yang bisa menjamin keduanya.

No comments: