Wednesday, February 01, 2012

Membela Kepentingan Nasional Dengan Aturan Devisa

Medan Bisnis, 19 September 2011
Beleid devisa ekspor akan terbit per tanggal 1 oktober bulan depan. Kebijakan Bank Indonesia tersebut terkait dengan aturan yang mewajibkan para eksportir untuk menyimpan hasil ekspornya di Bank yang ada di Indonesia. Kebijakan tersebut sempat menuai kontroversi dari banyak kalangan, terutama dari eksportir itu sendiri.

Beberapa pelaku ekspor mengatakan bahwa ada kemudahan dalam permohonan kredit bila uang hasil ekspor tersebut disimpan di Bank di luar negeri. Kemudahan yang dimaksud adalah mendapatkan pinjaman kredit dalam mata uang asing (US$) dengan biaya rendah.

Namun, pihak yang bertolak belakang dengan pendapat tersebut mengatakan bahwa devisa hasil ekspor tersebut lebih baik bunganya bila disimpan di Bank yang ada di
Indonesia, walaupun bunga pinjamannya relatif lebih tinggi. Sehingga, meskipun eksportir meminjam dengan biaya lebih mahal, hal tersebut masih dapat diimbangi dengan biaya bunga yang lebih tinggi dari simpanan valas di luar negeri. Dengan kesimpulan eksportir sedikit dirugikan disisi pinjaman, namun diuntungkan dari sisi simpanan. Impas deh.

Contoh kontroversi diatas masih menjadi berita hangat belakangan ini. Bank Indonesia sejauh ini memang dikenal dengan sistem keuangan yang liberal. Namun, dengan sejumlah langkah kebijakan yang akan di ambil, Bank Indonesia mulai melakukan pengendalian sehingga sistem devisa kita tidak sepenuhnya liberal. Ini merupakan karakter Bangsa kita dalam mengelola perekonomian, dimana ada sisi yang dilebaralkan namun pemerintah tetap memiliki peran jika dibutuhkan.

Hal tersebut wajar-wajar saja. Amerika Serikat yang menganut perekonomian dengan sistem mekanisme pasar yang liberal juga melakukan intervensi akhir-akhir ini. Intervensi tersebut dilakukan seiring dengan kian terpuruknya kondisi perekonomian nasional Amerika.

Undang-undang baru yang dikeluarkan oleh BI merupakan bentuk antisipasi atas kekhawatiran dari semakin terpuruknya kondisi perekonomian global, yang bisa saja berdampak negatif bagi negara lainnya termasuk Indonesia secara signifikan. Langkah BI tersebut harusnya kita apresiasi karena lebih berpihak pada kepentingan nasional.

Tidak hanya dikarenakan adanya krisis, kebijakan tersebut sejatinya diberlakukan agar devisa ekspor benar-benar kembali ke negara ini. Seperti halnya dengan Jepang, dimana devisa hasil ekspor negaranya selalu dikembalikan ke Jepang guna kepentingan negaranya. Hal tersebut sering terdengar dikalangan para pelaku pasar valas yang biasa disebut dengan istilah Repatriasi.

Karena itu seharusnya para eksportir harus lebih memihak pada industri nasional. Jangan hanya melakukan kegiatan industri di negeri ini, namun hasil penjualannya justru parkir di negara lain. Ini sama saja seperti lintah darat yang hanya menyerap kekayaan namun tidak bertanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkan.

Sejumlah saksi harus benar diterapkan nantinya bagi eksportir yang membandel. Dengan diberlakukannya aturan tersebut, maka transaksi Valas di pasar keuangan domestik nantinya diharapkan lebih banyak transaksi valasnya. Hal tersebut akan berkorelasi positif terhadap peningkatan pendapatan Bank Devisa nasional dari fee base income.

Selain itu, cadangan devisa diharapkan terus meningkat. Terlebih menjelang tahun 2013 mendatang, dimana eksportir diwajibkan untuk memarkirkan dananya terlebih dahulu di Indonesia. Dengan aturan tersebut, maka eksportir tidak memiliki pillihan lain. Selain itu, nilai tukar Rupiah juga lebih dapat dikendalikan.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Sudah tidak seharusnya ‘dijarah’ hanya demi kepentingan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan aturan tersebut maka Indonesia nantinya memiliki bargaining yang lebih kuat terhadap Singapura. Sejauh ini banyak eksportir yang memarkirkan dananya di negara tersebut, dan selama ini tentunya menguntungkan bagi Singapura.

No comments: