Saturday, January 23, 2010

Berharap Inflasi Rendah Di Bulan Ramadhan

Medan Bisnis, 15 September 2009
Sejak kecil hingga hari ini, penulis memperhatikan perilaku konsumtif masyarakat muslim selama bulan Ramadhan. Dimana belum ada perubahan paradigma baru yang merubah pola pikir masyarakat, yang hingga saat ini menjadikan Bulan Ramadhan sebagai bulan untuk mensucikan diri sekaligus untuk mengkoleksi baju baru, tradisi pulang kampung maupun menyantap makanan sedap. Sepertinya ini sudah menjadi sebuah tradisi.

Sebagai umat muslim, penulis menemukan perilaku berlebih-lebihan dan boros pada saat menyantap makanan sahur dan berbuka. Meskipun berperilaku boros tidak sepenuhnya berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Namun, ada hal negatif yang ditimbulkan dari perilaku boros yang berdampak pada perekonomian kita bahkan untuk waktu yang sangat lama.

Di saat Ramadhan, masyarakat muslim biasanya akan meningkatkan konsumsi lebih dari 20% di awal ramadhan, kondisi tersebut akan terus meningkat hingga perayaan Idul Fitri. Dan pada 10 hari menjelang lebaran tingkat konsumsi akan berada di titik tertinggi, dimana THR (Tunjangan Hari Raya) menjadi pemicu utama tingginya konsumsi masyarakat.

Fenomena tersebut akan membentuk suatu pola konsumsi yang akan memutar roda perekonomian. Perusahaan akan terus menggenjot penjualan barang yang bersifat fast moving seperti sembako dan sandang. Promosi gencar dilakukan, iklan di TV juga tak ketinggalan memanfaatkan bulan penuh berkah ini.

Semua punya peranan dan semua dapat bagiannya masing-masing. Ibu rumah tangga akan mendapatkan barang-barang yang diinginkannya, perusahaan mendapat omset penjualan dan keuntungan yang naik tajam, bahkan ustadz kebanjiran order memberikan ceramah di masjid-masjid maupun di rumah-rumah warga. Sayang, pola konsumsi ini tidak dilanjutkan di bulan yang lain, kalau bisa maka pertumbuhan ekonomi dan PDB (produk domestik bruto) sudah pasti melewati target pemerintah yang tertuang di APBN sebesar 5.5%.

Namun, ada yang perlu diwaspadai yakni Inflasi. Sejauh ini banyak analis yang memperkirakan bahwa inflasi hingga di tahun 2010 mendatang tidak lebih dari 5%. Sangat masuk akal memang, dan penyumbang inflasi paling besar adalah selama di bulan ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Selain itu, Inflasi akan menjadi indikator bagi Bank Indonesia (BI) untuk menaikan atau menurunkan suku bunga.

Nah andai saja masyarakat kita selama bulan ramadhan tidak menunjukan pola konsumsi yang meningkat, maka seharusnya inflasi jauh lebih kecil lagi. Ingat semakin kecil laju inflasi maka semakin besar ruang penurunan suku bunga. Bukankah sektor riil membutuhkan bunga rendah untuk terus bertahan hidup. Bukankah UMKM juga membutuhkan stimulus bunga yang rendah agar tetap bertahan. Karena sektor rill yang hidup akan mengurangi jumlah pengangguran.

Dan pengangguran yang turun akan mengurangi angka kemiskinan. Bukankah ini menunjukan bahwa dengan tetap berperilaku hemat, bukankah kita pada dasarnya juga turut membantu mengurangi angka kemiskinan!. Seperti dua buah mata pisau, secara ekonomi boros juga memiliki 2 sisi dimana yang satu menguntungkan dan yang satu sangat merugikan.

Fenomena Ramadhan di Indonesia tentunya memiliki perbedaan dengan yang terjadi di Negara lainnya. Kalau di Indonesia masih dapat ditemukan aparat keamanan yang menggusur pedagang kaki lima yang memanfaatkan bulan penuh berkah untuk mengais rezeki. Sangat berbeda dengan beberapa negara Arab, yang masih mampu menunjukan keberpihakan kepada masyarakat miskin.

Hidangan sang pengasih yang meyuguhkan berbagai makanan sahur dan berbuka puasa secara massal, khususnya untuk mereka yang kurang mampu, adalah budaya dan pemandangan yang belum banyak dilakukan di masyarakat kita. Penulis mengucapkan Minal Aidin Wal Fa’Idzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.

No comments: