Saturday, January 23, 2010

Uang Berkembang “Biak” di Tempat Yang Aman

Medan Bisnis, 26 Oktober 2009
IHSG dan mata uang Rupiah bergerak dengan volaitilitas yang cukup tinggi dalam minggu kemarin. Secara keseluruhan fluktuasi yang terlihat menunjukan bahwa IHSG dan Rupiah bergerak dengan kecenderungan melemah. Pelemahan terjadi justru di saat Indeks bursa global menguat. Anomali di pasar keuangan Indonesia terjadi dikarenakan penguatan IHSG dan Rupiah yang sangat signifikan dalam kurun waktu setahun terakhir.

Rupiah dan IHSG seperti sudah kemahalan dan sangat wajar bila terkoreksi. Meskipun pasar global justru sebagian mengalami euphoria, IHSG dan Rupiah justru masih berjibaku apakah melanjutkan tren penguatan atau justru bergerak berlawanan. Namun, kondisi ini sepertinya tidak berlangsung lama.

Ada beberapa alasan kenapa IHSG dan Rupiah kembali terkoreksi. Pertumbuhan ekonomi AS yang biasa diperlihatkan dengan indikator GDP (Gross Domestic Product) akan dirilis dalam waktu dekat. Ekspektasinya ekonomi AS akan mengalami pertumbuhan selama kuartal 3 tahun ini. Ini merupakan sebuah ekspektasi yang menggembirakan. Sumber dari Bloomberg menyatakan bahwa akan ada pertumbuhan GDP sebesar 3.3% selama kuartal ketiga.

Meskipun berita positif, namun dalam jangka pendek hal tersebut bisa saja berpengaruh negatif bagi IHSG dan Rupiah. Pertumbuhan GDP yang baik selalu diikuti dengan laju inflasi pula. Laju inflasi yang tinggi akan memaksa Bank Sentral AS menaikan suku bunga. Nah, ekspektasi kenaikan suku bunga tersebut akan menggiring dana Asing lari dari Indonesia.

Kebanyakan dana yang masuk melalui Indeks Bursa dan Rupiah berupa dana jangka pendek. Atau biasa diistilahkan dengan Hot Money. Uang tersebut dapat saja pindah dari satu Negara ke Negara lain yang dinilai aman dan lebih menguntungkan. Terlebih Bank Indonesia diperkirakan tidak akan menurunkan BI rate hingga akhir tahun ini. Meskipun Inflasi di Indonesia masih relatif terkendali.

Beberapa alasan lain seperti kenaikan harga minyak dunia yang saat ini berada di kisaran $80/barel. Kenaikan minyak tersebut akan memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Hal ini terjadi karena Negara kita harus membeli minyak mentah dari luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Harga komoditas lainnya juga sudah mulai merangkak naik seperti CPO (crude palm oil).

Kondisi tersebut sebenarnya juga menguntungkan bagi beberapa emiten. Namun, potensi tekanan bagi IHSG dan Rupiah dalam waktu dekat bisa saja terjadi. Setidaknya hingga data ekonomi AS dirilis. Dan telah terbentuk persepsi yang akan membuat pasar lebih realisitis.

Kenapa keterpurukan Rupiah dan IHSG tidak dalam jangka waktu yang lama?. Economic Outlook Indonesia sebenarnya masih sangat bagus. Dan Kepercayaan investor bisa dimulai dari kian membaiknya peringkat Indonesia di mata Internasional. Standard & Poor’s yang merupakan lembaga pemeringkat internasional memberikan perubahan outlook positif untuk Indonesia. Ini juga akan berimbas pada antusias investor asing untuk memburu asset-aset lokal. Nantinya juga akan berimbas pada penguatan IHSG dan Rupiah.

Apabila pemerintah yang baru saat ini mampu mengelola kebijakan fiskal dan moneter dengan sangat hati-hati. Maka kedepan peringkat kredit Indonesia dengan sendirinya juga akan membaik. Kesempatan Indonesia masuk dalam jajaran Negara yang tergolong dalam invesment grade (negara layak investasi) semakin dekat. Karena uang akan berkembang “biak” di tempat yang benar-benar aman dan menguntungkan.

No comments: