Friday, January 22, 2010

Menurunkan Bunga Hadapi Krisis

Medan Bisnis, 2 November 2008
Bank Sentral Amerika diperkirakan akan kembali memangkas suku bunganya sebesar 50 basis poin atau mungkin lebih. Perkiraan tersebut dilandasai oleh semakin terfokusnya pemerintah AS untuk kembali meningkatkan daya beli masyarakat di negeri paman sam tersebut, serta untuk menggenjot pertumbuhan perekonomian masyarakat AS yang pada saat ini lagi lesu

Langkah-langkah antisipatif seperti menggelontorkan dana dalam jumlah besar ternyata tidaklah cukup untuk mengatasi krisis finansial yang melanda masyarakat AS. Jumlah uang yang besar untuk menyelamatkan AS dari krisis finansial ternyata kurang berhasil. Meskipun demikian, dana talangan (bailout) dinilai mampu menahan dampak negatif yang lebih besar yang mungkin saja bisa terjadi.

Selain itu, Rencana penurunan suku bunga The FED tersebut mampu mendongkrak harga saham. Membuat perdagangan saham di wall street kembali bergairah setelah sebelumnya sempat porak poranda diakibatkan oleh pengalihan investasi dari saham ke bentuk investasi lainnya seperti tabungan.

Padahal masyarakat di AS sebelumnya sempat mengkhawatirkan dananya yang diinvestasikan di saham terkait dengan bangkrutnya beberapa korporasi besar di AS. Namun, sentimen baru dipasar seperti penurunan bunga akan menjadi pemicu sementara untuk mengembalikan kepercayaan para investor dan para pelaku pasar lainnya.

Bukan hanya menjadi sentimen positif untuk bursa saham, rencana penurunan suku bunga juga telah kembali mengangkat harga minyak lebih dari $1, dan mendekati level psikologis $65/barel. Kenaikan tersebut setidaknya mampu mengangkat harga komoditas lainnya, sehingga masih menyisahkan harapan akan kembali membaiknya harga komoditas lokal yang saat ini harganya sangat memprihatinkan sekali dan cenderung sangat merugikan para petani.

Selain di AS, pemerintah jepang juga memotong besaran suku bunganya guna menyelamatkan perekonomian yang sedang tidak baik. Rapat yang digelar oleh BOJ (Bank Of Japan) yang merupakan Bank Sentral Jepang menyepakati usulan penurunan suku bunga. Keputusan itu seiring dengan membaiknya nilai tukar Yen Jepang terhadap rivalnya, yang saat ini Yen diuntungkan dengan adanya Risk Aversion.

Pemerintah India diluar ekspektasi juga kembali menurunkan besaran suku bunganya dari 8% menjadi 7.5%. Pemerintah India melalui Gubernur Bank Sentralnya Duvvuri Subbarao memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah benar-benar fokus untuk membenahi pertumbuhan ekonomi India. Dan berharap dengan melemahnya nilai mata uang rupee setidaknya mampu mengurangi ketergantungan akan barang impor dan mengurangi laju tekanan inflasi.

Bank Indonesia belum bisa dipastikan apakah akan melakukan langkah serupa seperti AS, Jepang dan India. Penurunan suku bunga memang menjadi prioritas tatkala telah terjadi pertumbuhan yang rendah atau bahkan negatif. Namun, setiap negara mempunyai permasalahan ekonominya sendiri, sehingga mengadopsi kebijakan yang dibuat negara lain belum tentu efektif dilakukan di negara sendiri.

Apalagi saat ini nilai tukar Rupiah benar-benar tertekan dan telah menembus level psikologis Rp.10.000/$. Sikap reaktif dengan menurunkan suku bunga berpotensi membuat Rupiah tertekan lebih dalam lagi. Dan akan memberikan dampak negatif bagi perusahaan yang memiliki hutang dalam US Dolar serta berpotensi membuat laju tekanan inflasi meningkat.

Belum ada hitung-hitungan yang akurat mana yang lebih menguntungkan apakah dengan membiarkan mata uang Rupiah terdevaluasi, atau menurunkan suku bunga guna terus bertahan agar tetap terjadi pertumbuhan. Sulit untuk menetapkan mana yang terlebih dahulu diselamatkan, namun menyelamatkan yang lebih prioritas akan lebih baik dari pada bersikap serakah untuk menyelamatkan keduanya.

Dan jangan mencoba untuk bersikap spekulatif, namun kebijakan apapun yang akan diambil akan memberikan sisi negatif yang suatu saat akan di bicarakan dipermukaan dan menimbulkan resistensi kepada pemerintah.

No comments: