Friday, January 22, 2010

Rupiah Tergonjang-Ganjing

Medan Bisnis, 10 November 2008
Nilai tukar Rupiah diperdagangkan jatuh dikisaran level 10.500/$, jauh lebih buruk dibandingkan dengan perdagangan di awal tahun 2008 ini. Krisis global yang diawali di AS telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia dengan terlihat dari menurunnya nilai tukar Rupiah serta kembali terkurasnya cadangan devisa.

Aksi intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) memang cukup dirasakan di pasar. Dimana aksi tersebut cukup menahan nilai tukar Rupiah tidak berfluktuasi cukup tajam, dan relatif stabil dikisaran 10.500/$. Secara keseluruhan, kebijakan pemerintah dalam menanggapi krisis memang terlihat hasilnya, namun dikhawatirkan kemampuaan pemerintah dalam menghadapi tekanan hebat seperti sekarang ini tidak berlangsung cukup lama.

Sejauh ini, dibandingkan dengan mata uang lain se-kawasan (Asia) Rupiah relatif stabil. Namun, kerapuhan perekonomian Indonesia semakin terlihat seiring dengan memburuknya kondisi perekonomian global. Nilai tukar yang melemah, cadangan devisa yang menurun, Indeks bursa yang tertekan, Suku bunga yang tinggi serta melemahnya laju pertumbuhan.

Dengan kondisi yang tidak menentu tersebut, muncul gagasan agar supaya dilakukan pengontrolan devisa. Padahal menurut hemat penulis, langkah tersebut dapat dilakukan dengan jumlah cadangan devisa yang cukup signifikan. Karena pengontrolan devisa salah satunya dengan melakukan batasan terhadap laju pergerakan nilai tukar Rupiah.

Mungkinkah pengontrolan devisa tersebut dilakukan pada saat seperti ini?, sangat sulit tentunya. Selain itu, kontrol devisa juga harus memperhitungkan dimana level aman atau biasa disebut dengan range pergerakan mata uang. Dan hal ini harus mengkaitkan banyak pihak termasuk pengusaha,

Dalam waktu dekat, Rupiah sepertinya sulit untuk kembali menguat. Beberapa alasan yang patut dicermati adalah, tren penguatan mata uang US$ seiring dengan kebijakan penurunan suku bunga di Eropa. Terpilihnya Presiden Barack Obama juga memberikan sentimen baru dipasar dan menjadi pemicu menguatnya mata uang US$.

Yang paling sangat menonjol adalah penguatan US$ ditengah memburuknya data tenaga kerja AS, dimana indeks pengangguran berada di level 6.5%, dan AS harus kehilangan sekitar 240.000 lapangan kerja. Kondisi perekonomian AS jelas memang sangat buruk, stimulus yang diberikan pemerintah AS juga belum mampu menyelamatkan perekonomian AS.

Seiring dengan memburuknya perekonomian AS, jelas akan memberikan tekanan hebat bagi pemerintah Indonesia. Bahkan, kemungkinan yang lebih buruk masih saja terus membayangi dan terjadi. Kalau bicara mengenai ketergantungan dengan pihak asing, Indonesia tentunya sulit untuk melepaskan ketergantungannya dalam sekejap. Dibutuhkan waktu untuk merealisasikannya.

Semua orang tentunya menyadari perlunya membangun perekonomian secara mandiri. Namun, tidak ada satu Negara pun di dunia ini yang tidak membutuhkan peran Negara luar dalam menjalankan perekonomiannya. Mandiri mungkin bisa dikatakan berbasis pada pengelolaan perekonomian yang terfokus pada pemanfaatan ekonomi domestik.

Dengan kondisi yang terpuruk seperti ini, tentunya sangat sulit untuk memikirkan hal itu semua. Yang paling rasional dilakukan adalah mengatasi masalah yang paling diprioritaskan agar dapat terhindar dari akibat yang lebih buruk lagi dimasa yang akan datang yang tidak diinginkan.

Kembali ke ekonomi sesuai dengan UUD 1945, jelas ekonomi yang lebih bersifat kerakyatan. Tidak salah memang, namun untuk merealisasikannya butuh waktu yang mungkin tidak singkat. Banyak proses yang perlu dilalui, serta metode yang bagai mana yang sesuai dengan kultur bangsa ini.

Dan yang pasti perekonomian yang dikembangkan pemerintah saat ini juga berorientasi kepada ekonomi kerakyatan. Meskipun portofolio lantai bursa banyak dipenuhi orang asing, rupiah diperdagangkan cukup bebas, yang pasti kenapa hanya sedikit orang Indonesia yang mau menempatkan dananya di lantai bursa (bandingkan dengan kepemilikan asing yang lebih dari 50%), disaat Rupiah terpuruk apakah orang Indonesia masih mencintai Rupiah?. Bukankah orang Indonesia atau Rakyat juga yang bisa menyelamatkan Indonesia dari krisis!.

No comments: