Saturday, January 23, 2010

Pasar Keuangan Belum Ditopang Dengan Fundamental Yang Kuat

Medan Bisnis, 16 Juni 2009
Laju pertumbuhan eknomi Indonesia yang masih positif membuat pelaku modal asing masih menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk mengkembangbiakan uang. Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya pemodal asing yang membeli instrument Surat Utang Negara (SUN) atau yang berinvestasi di pasar saham. Sah-sah saja, namun disini terlihat dengan jelas bahwa pemerintah kurang memperhatikan sektor riil Karena penurunan BI rate dinilai masih cukup lambat.

Tekanan laju inflasi yang terus menurun seharusnya menjadi momentum yang kuat untuk menurunkan BI rate secara signifikan. Apalagi, selisih BI rate bila dibandingkan dengan bunga The FED yang masih menganga cukup lebar. Kalau dulu BI rate berada di sekitar 8%, biasanya The Fed akan berada di sekitar 4%. Jadi selisih atau spread tidak begitu lebar. Saat ini, The FED Fund Rate sudah mendekati 0%, memang kondisi tidaklah sama. Penurunan BI rate sangat mengancam nilai tukar Rupiah yang saat ini masih bertengger di atas Rp.10.000/US$.

Sebagai Negara yang masuk dalam kategori emerging market (Negara berkembang). Indonesia memang kerap tidak diuntungkan dengan perubahan data-data ekonomi meskipun dalam agka yang fatastis. Semakin membaik data perekonomian kerap dijadikan alas an oleh investor asing untuk menjadikan uang panas dalam jangka pendek (Hot Money) membanjiri Indonesia. Sekilas pasar keuangan kita akan mencetak angka gemilang karenanya. Meski demikian hal tersebut akan membuat pemerintah terus mengalami tekanan APBN yang cukup kuat untuk membayar bunga hutang yang tinggi.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, Investor asing kembai memborong instrumen utang pemerintah atau biasa disebut dengan SUN. Selain itu, obligasi global (global bond) yang ditrbitkan pemerintah sebelumnya juga terus mencetak harga tertinggi baru yang saat ini dijual dengan harga premium (diatas 100%). Hal ini terjadi, karena surat hutang yang diterbitkan pemerintah memiliki kupon yang sangat tinggi apabila dibandingkan dengan surat utang sejenis dari Negara lain.

Yang perlu dicermati adalah apabila dana yang saat ini masuk tersebut, tiba-tiba keluar karena melihat ada tempat (Negara) yang lebih menarik (memberikan bunga lebih kompetitif). Hal tersebut tentunya akan merontokan harga semua instrument keuangan kita. Selain itu, korporasi lokal juga akan kesulitan dalam menerbitkan surat utang (obligasi). Sejauh ini, obligasi pemerintah selalu dijadikan acuan untuk menerbitkan obligasi oleh korporasi. Apabila obligasi pemerintah masih terus memberikan kupon yang tinggi, maka sangat tidak mungkin obligasi korporasi memberikan kupon yang lebih rendah.

Jika mau laku, maka obligasi korporasi harus lebih tinggi dari kupon yang diberikan oleh obligasi milik pemerintah. Hal tersebut dengan sangat jelas menggambarkan bahwa kondisi ekonomi kita tidak sepenuhnya mendukung kegiatan yang pro sektor riil.
Nah, bagaimana dengan wajah perekonomian kita yang tercermin dari pergerakan IHSG.

Kalau boleh jujur, kita patut berbangga karena IHSG mencatatkan rekor kenaikan dan masuk dalam salah satu yang terbaik di ASIA. Kenaikan tersebut seolah-olah menepis bahwa kita bisa melewati kondisi krisis global yang bermula dari Amerika Serikat. Saat ini, IHSG kian perkasa. Penguatannya menunjukan arah tren yang terus bergerak keatas. Bahkan ada yang memprediksikan IHSG akan mampu mendekati level 2.800 pada tahun ini.

Terlepas dari faktor kinerja emiten di Bursa Efek Indonesia yang masih banyak diniliai belum sepenuhnya berkinerja baik. Namun, jangan lupa, kenaikan IHSG dipengaruhi oleh banyak factor, dimana salah satunya adalah politik. Atau lebih dekat kalau kita katakan ada proses demokrasi yang akan memberikan dampak signifikan bagi kinerja IHSG kedepan.

Pelaku pasar bukanlah sistem yang mirip dengan mesin. Pasar memiliki keinginan untuk menciptakan sebuah sistem investasi yang sesuai dengan keinginan pelaku pasar. Proses demokrasi yang berjalan dengan lancar, merupakan sebuah keinginan dari pelaku pasar agar mereka (pelaku pasar) ingin proses demokrasi berujung pada suasana investasi yang kondusif.

India pernah melakukan pesta demokrasi seperti di Indonesia. Proses demokrasi tersebut bukan hanya menciptakan pemimpin yang sesuai dengan hasil pemilihan. Namun, kondisi bursa di India langsung mencatatkan rekor tertinggi. Hal tersebut juga bisa saja terjadi di Indonesia. IHSG masih berpeluang untuk tetap melanjutkan tren kenaikan apabila proses demokrasi pemilihan presiden berjalan sesuai dengan keinginan pasar.

Kalau memang naik seperti yang dinginkan pelaku pasar. Maka, sudah sangat tidak relevan lagi kalau kita mengatakan bahwa kenaikan IHSG semata-mata hanya karena kinerja emiten yang sangat baik. Maupun dikarenakan data-data ekonomi yang kian gemilang. Akan tetapi kita juga bisa mengatakan bahwa ini adalah bonus yang dihasilkan dari aspirasi masyarakat.

No comments: