Friday, January 22, 2010

Recovery Ekonomi AS Dan Implikasinya

Medan Bisnis, 30 Maret 2009
Indikator ekonomi makro AS menunjukkan menunjukan adanya pergerakan yang lebih aktif dalam pembentukan permintaan agregat. Hal ini sekaligus menimbulkan optimisme yang lebih baik terhadap pulihnya perekonomian AS. Indikasi permintaan agregat dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bahwa telah terjadi proses recovery perekonomian AS. Dan pemulihan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan Uni Eropa.

Beberapa data perkonomian yang mendukung permintaan agregat antara lain dikarenakan terjadinya peningkatan pada data Personal Spending (tingkat konsumsi individu) sebesar 0.2% dan telah terjadi peningkatan serupa pada periode sebelumnya sebesar 1.0%. Meningkatnya data permintaan agregat AS ini di keluarkan oleh Bureau of Economic Analysis AS.

Peningkatan pada indikator ini merupakan indikasi yang sangat penting dalam sebuah perekonomian yang berada dalam situasi resesi, karena menunjukkan proses pemulihan yang dampak lanjutannya diharapkan dapat membawa perekonomian menuju fase countercyclical yang dapat mengeluarkan ekonomi dari resesi.

Namun, data pendapatan individu justru mengalami penurunan sebesar 0,2%. Kondisi tersebut sesuai dengan apa yang telah diprediksi oleh para ahli ekonomi sebelumnya. Selain itu, tingkat tabungan masyarakat AS pada bulan Februari juga mengalami peningkatan sebesar 4,2%. Telah terjadi perubahan kebiasaan masyarakat AS yang tengah dilanda krisis.

Himbauan pemerintah AS yang menyarankan rakyatnya untuk menggiatkan kembali kegiatan menabung guna memberikan kontribusi dalam upaya memulihkan sektor perbankan yang terpukul akibat krisis sektor finansial ternyata menuai hasil. Padahal sebelumnya masyarakat AS hanya menyisihkan sekitar 2% pendapatannya untuk menabung, sangat rendah dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat di uni eropa.

Data-data perkonomian AS lainnya juga masih mencatatkan kenaikan. Diantaranya adalah pengeluaran konsumen untuk barang-barang yang tidak tahan lama (non durable goods) yang naik sebesar 1.8%. Serta diikuti dengan pengeluaran untuk jasa yang juga meningkat sebesar 0.1%. Akan tetapi disisi lain, pengeluaran konsumen untuk durable goods (barang tahan lama) di bulan Februari justru mengalami penurunan sebesar 1,3%.

Terkait dengan data perekomian AS, mata uang US Dolar atau biasa disebut dengan greenback terus mengalami penguatan terhadap mata uang utama dunia lainnya. Bahkan dalam beberapa hari perdagangan minggu kemarin, US Dolar terus melakukan tekanan terhadap mata uang Poundsterling Inggris.

Memburuknya kinerja mata uang Poundsterling juga dipicu oleh pernyataan Gubernur BOE (Bank of England) Marvin King pada hari selasa minggu kemarin. Dimana Marvin King memaparkan data-data perekonomian Inggris memiliki kecenderungan memburuk. Hingga saat ini, data-data makroekonomi yang dirilis masih menunjukkan semakin limbungnya perekonomian Inggris, terutama data inflasi dan indikator daya konsumsi masyarakat yang lebih buruk dari perkiraan sebelumnya. Pada indikator inflasi CPI mencapai 3.2% dari 2.6% yang diperkirakan, CBI Realized Sales yang jatuh menjadi sebesar -44% dan data Retail Sales yang menunjukkan pengurangan penjualan hingga mencapai -1.9%.

Terlepas dari hal itu semua, Mata uang Rupiah justru bertolak belakang dengan Poundsterling. Meskipun diperdagangkan sangat beragam, namun pada perdagangan minggu kemarin mata uang rupiah bergerak menguat terhadap US Dolar. Demikian halnya juga dengan Indeks bursa yang terus mengalami kenaikan.

Pasar terus berharap perekonomian AS adapat pulih dari krisis saat ini. Sehingga akan berdampak positif bagi pemulihan ekonomi di belahan dunia lainnya. Namun, pasar keuangan domestik tidak serta merta akan mengikuti perkembangan serupa. Terkadang pasar keuangan kita bergerak anomali. Tidak akan menjadi jaminan yang kuat memburuknya perekonomian di tingkat regional maupun global akan memberikan dampak serupa bagi pasar keuangan kita secara menyeluruh.

Pemerintah biasanya akan mengkaitkan perubahan positif di pasar keuangan dengan ekspektasi positif terhadap gejala indikasi perubahan ekonomi makro kita. Akan tetapi, disisi lain ada penilaian bahwa Indonesia masih memberikan yield yang tinggi, sehingga masih menjadi tempat pilihan investor untuk berinvestasi. Biasanya dana investor tersebut merupakan uang panas yang sufatnya terkadang akan mengendap sebentar dan bisa pergi serta tidak kembali lagi.

No comments: