Saturday, January 23, 2010

Sigap (Gempa) Inflasi

Medan Bisnis, 6 Oktober 2009
Bank sentral AS (The FED) kembli mencabut stimulus yang selama ini diagendakan untuk mengatasi krisis yang terjadi di AS. Kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa Amerika sudah tidak membutuhkan dana stimulus untuk menyeaatkan perekonomian AS kedepan. Mungkinkah ini bertanda bahwa perekonmian AS sudah mulai pulih?.

Sejauh ini, hingga pertengahan minggu kemarin data klaim pengangguran di AS masih terus meningkat, dan diperkirakan akan terus berlangsung hingga awal tahun 2010 mendatang. Ini menjadi salah satu indikator yang belum menggambarkan perekonomian AS benar-benar keluar dari resesi. Atau mungkinkah kebijakan AS mencabut stimulus adalah untuk menahan laju inflasi?

Seperti yang dikemukakan oleh kebanyakan Gubernur Bank Sentral AS yang mengiginkan adanya kenaikan suku bunga untuk menahan laju inflasi. Kemungkinan kebijakan tersebut sepertinya akan tetap menarik untuk diperbincangkan. AS yang sebelumnya terjerembab oleh gagal bayar para debitur di sektor perumahan, kini dihadapkan oleh tekanan laju inflasi yang meningkat dan belum dibarengi dengan daya beli masyarakat yang baik.

Daya beli masyarakat yang tercermin dalam consumer spending terkadang memang menyuguhkan data dengan perubahan lebih baik dalam kurun waktu tertentu. Namun, peranan stimulus AS diyakini sebagai pemicu membaiknya daya beli masyarakat AS. Ini menggambarkan bahwa meskipun ada sinyal perekonomian AS akan pulih, namun kondisinya tidak akan jauh berbeda di awal 2010 mendatang dengan yang terjadi saat ini.

Apabila melihat indeks bursa Dow Jones dalam sesi perdagangan minggu kemarin. Maka DJIA (Dow Jones Industrial Average) masih dibawah tekanan. Indeks Dow Jones membukukan penurunan yang cukup signifikan seiring dengan memburuknya data perekonomian di AS, terutama klaim pengangguran yang terus meningkat. Di bulan oktober ini, bahkan masih muncul pertanyaan akankah Dow Jones Naik atau justru membentuk tren penurunan (bearish).

Korelasinya dengan Indonesia
Tidak begitu berpengaruh mungkin. Indonesia yang masih membukukan pertumbuhan plus diatas 4% justru menerima berkah dari memburuknya perekonomian AS. Capital inflow yang masuk ke Indonesia sebagai salah satunya. Investor justru mengalihkan investasinya ke Indonesia seiring dengan ekspektasi dengan perekonomian Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan dibandingkan dengan Negara sekawasan (regional)
Nilai tukar Rupiah terus menguat dan saat ini terus bertahan di kisaran harga Rp. 9.700,- per US$. Penguatan nilai tukar Rupiah akan menahan laju tekanan inflasi. Selain itu, inflasi yang relatif rendah belakangan ini juga akan memberikan ruang bagi penurunan suku bunga lagi.

Seiring dengan penguatan Rupiah, harga minyak dunia juga bergerak dengan fluktuasi yang rendah. Ini akan mempermudah pemerintah dalam mengatur APBN yang memang sangat rentan dan banyak dipengaruhi oleh harga minyak. Dengan begitu ruang kenaikan harga BBM setidaknya mengecil hingga pertengahan tahun 2010 nanti.

Namun pemerintah harus tetap waspada terhadap suku bunga acuan global yang diperkirakan akan kembali naik. Kebijakan Bank Sentral AS yang masih mungkin menaikkan suku bunga berpotensi membuat aliran dana berbalik dari Indonesia. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan, mengingat dana yang masuk ke Indonesia masih berupa dana jangka pendek.

Pelarian modal akan membuat nilai tukar Rupiah melemah. Dan berpotensi membuat inflasi kembali naik. Cadangan devisa juga berpotensi terkuras apabila nantinya pemerintah menilai pelemahan Rupiah sudah sangat mencemaskan. Selain itu, gempa yang terjadi di Sumatera Barat juga berpotensi menambah laju tekanan inflasi.

Indikator-indikator ekonomi masih bisa berubah dan tidak sesuai dengan ekspektasi. Imu pengetahuan manusia tidak sepenuhnya mampu menjawab permasalahan yang kompleks di Bumi ini. Laju inflasi yang sejauh ini mampu diprediksikan analyst ternyata selalu akan berubah tatkala ada variabel yang tidak diketahui seperti terjadinya gempa.

No comments: