Friday, January 22, 2010

Menanggapi Sentimen Ekonomi

Medan Bisnis, 8 Juni 2009
Pada perdagangan kemarin Indeks Bursa Dow Jones ditutup menguat tipis 0.15% di level 8.763 atau naik 12.89 Poin, meskipun selama sesi perdagangan jum’at kemarin sempat menyentuh level tertingginya di atas kisaran level 8.825. Ada beberapa hal yang menarik sehingga Dow Jones sempat menyentuh level atas 8.825. Yakni pengumuman mengenai data Non Farm Payroll dimana selama bulan Mei tercatat sekitar 345 Ribu orang kehilangan pekerjaannya.

Data tersebut lazimnya bukan merupakan berita bagus bagi sebuah perekonomian Negara adidaya. Yang dinantikan justru adanya penyerapan tenaga kerja baru sehingga menggambarkan perubahan ekonomi yang lebih baik lagi. Namun kenapa pasar justru merespon positif berita tersebut. Tak lain adalah bahwa data jobless claim (klaim pengangguran) AS tersebut ternyata masih lebih kecil apabila dibandingkan dengan ekspektasi pelaku pasar sebelumnya.

Maklumlah, pasar selalu lebih cepat bereaksi serta memberikan gambaran akan apa yang terjadi di masa yang akan datang. Misal, investor di pasar keuangan/saham tidak perlu menunggu hingga dikeluarkannya keputusan mengenai besaran Inflasi oleh BPS (Biro Pusat Statistik), karena ada institusi lain yang bisa memprediksikan besaran inflasi sebelum data sebenarnya di rilis.

Mirip dengan data yang dikeluarkan oleh lembaga survey dalam menghitung hasil pemilihan legislatif kemarin, atau lebih dikenal dengan istilah quick count. Data yang dikeluarkan oleh suatu lembaga survey biasanya sudah dapat digunakan sebagai asumsi dalam menentukan partai mana yang menang. Dan biasanya data tersebut tidak jauh berbeda dengan penghitungan sebenarnya yang dilakukan oleh lembaga resmi misal KPU.

Begitu juga yang terjadi di Amerika. Besaran pengangguran yang terjadi selama krisis berlangsung biasanya akan ada di angka 500.000 pengangguran baru setiap bulannya. Sehingga data yang keluar kemarin sekitar 315.000 pengangguran di bulan mei diasumsikan sebagai perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik meskipun bukan gambaran bahwa perekonomian mulai pulih secara keseluruhan.

Data-data ekonomi lainnya yang sering digunakan sebagai acuan dalam berinvestasi adalah Laju Inflasi, Pejualan Perumahan, Consumer Spending, GDP (Produk Domestik Bruto), Penjualan Mobil, Current Balace, The FED Fund Rate, maupun nilai tukar US$. Di Indonesia, data-data perekonomian tersebut tidak semuanya digunakan dalam menterjemahkan keinginan pasar. Data ekonomi yang paling banyak digunakan investor untuk berinvestasi di Indonesia biasanya data Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, GDP dan suku bunga (BI Rate).

Nah umumnya data perekonomian yang direalisasikan baik, biasanya akan mendapat respon positif dari para pelaku pasar. Yang paling mudah dilihat adalah tren kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan tren penguatan nilai tukar Rupiah. Kenaikan pada IHSG dan Rupiah merefleksikan gambaran langsung wajah dari perekonomian kita secara keseluruhan. Meskipun pada dasarnya fundamental perekomian kita saat ini jauh lebih baik dibandingkan wajahnya sendiri.

Dalam menyikapi sentimen yang muncul, Investor dipasar saham maupun di pasar keuangan biasanya sudah melakukan aksi yang lebih cepat sebelum data ekonomi/sentimen tersebut dirilis atau dipublikasikan. Sehingga, pasar umunya tidak banyak berubah ketika data tersebut dikeluarkan.

Semua kembali kepada setiap orang dalam meresponnya. Pengusaha tentunya akan melihat perubahan data-data ekonomi dan pengaruhnya dalam jangka panjang sebelum membuat keputusan bisnis. Ibu rumah tangga biasanya akan langsung merespon kenaikan harga BBM yang baru saja dipublikasikan pemerintah untuk mengatur pengeluaran rumah tangganya. Sementara, investor saham dan pasar uang jauh lebih cepat bereaksi dan lebih banyak berspekulasi sebelum data ekonomi dipublikasikan.

No comments: