Friday, January 22, 2010

Harga Komoditas Yang Mengkhawatirkan

Medan Bisnis, 27 Oktober 2008
Beberapa harga komoditas seperti sawit, karet, biji timah turun drastis dan memukul banyak pelaku usaha dalam negeri khususnya bagi mereka yang menjadikan komoditas tersebut sebagai tumpuan usaha. Komoditas tersebut merupakan komoditas ekspor dimana harganya sangat dipengaruhi oleh perubahan harga pasar, yang saat ini tengah dilanda krisis.

Penurunan harga komoditas tersebut dipicu oleh semakin memburuknya pertumbuhan perekonomian di Negara besar yang sedang dilanda krisis. Telah terjadi pola konsumsi yang menurun, yang mengakibatkan pasar dibanjiri oleh komoditas sementara disisi permintaannya menunjukan penurunan yang signifikan. Hal inilah yang dijadikan alasan kenapa harga komoditas tersebut terjun bebas.

Penurunan tersebut membuat sejumlah pengusaha di sektor pertanian dan pertambangan mulai merugi. Dan berpotensi menurunkan omzet yang berbuntut turunnya pendapatan. Sehingga wajar apabila sejumlah pengusaha meminta bantuan pemerintah untuk menyelamatkan industrinya. Mulai dari keringanan/penghapusan pajak hingga bentuk perlindungan lain seperti subsidi untuk para petani (sawit dan karet).

Yang paling sangat dirugikan saat ini adalah para petani sawit dan karet. Dimana, harga jual petani yang relatif murah tidak dibarengi dengan penurunan harga pupuk dan biaya operasional perawatan lahan. Sehingga kerap muncul ancaman dari para petani yang akan mentelantarkan lahannya apabila omzet yang didapat tidak dapat menutupi biaya hidup sehari-hari dan operasional. Padahal, komoditas sawit dan karet merupakan komoditas ekspor unggulan permintah Indonesia selain minyak dan gas.

Muncul beberapa kekhawatiran apabila terjadi penurunan harga yang signifikan secara terus menerus dan melebihi ambang batas. Kekhawatiran tersebut antara lain peralihan lahan, pengangguran meningkat, ketidak percayaan akan usaha serupa dimasa yang akan datang karena rentan terhadap guncangan krisis serta hilangnya keadidayaan Indonesia sebagai Negara besar pengekspor sawit (CPO) dan karet.

Kalau mengacu pada statement wakil presiden yusuf kalla yang menyatakan bahwa tidak mungkin tidak ada yang butuh sawit dan karet, itu mengindikasikan bahwa para petani harus lebih sabar hingga kondisi krisis ini pulih. Logikanya memang cukup sederhana, karena sawit dan karet dapat dijadikan barang yang sangat dibutuhkan orang dimanapun, bahkan mencakup kebutuhan pokok manusia seperti minyak goreng.

Namun, kebutuhan makan dan kecukupan kebutuhan sehari-hari bukanlah hal yang dapat ditunda, apalagi tidak makan sambil menunggu krisis ini selesai, itu kan tidak mungkin. Sehingga petani juga tidak akan menunggu sampai selesai, tapi apa yang bisa dilakukan saat ini untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ini juga merupakan ujian bagi pemerintah yang sejauh ini masih direpotkan dengan krisis global.

Meski demikian ada sisi positif yang mungkin akan terjadi apabila peralihan lahan itu benar-benar terjadi. Yakni, peralihan ke sektor pertanian seperti palawija. Sehingga banyak orang yang akan kembali lagi menanam padi. Namun, sangat tidak bijaksana apabila petani “dipaksa” untuk beralih ke sektor tersebut. Terkesan sangat memanfaatkan situasi atau aji mumpung.

Harga yang terus turun tidak hanya terjadi pada komoditas tersebut. Harga minyak dunia juga terjun bebas hingga mendekati level $60/barel. Turun lebih dari 60% dari posisi tertinggi $147/barel. Hal tersebut juga menuntut pemerintah untuk kembali menurunkan harga BBM. Yang sejauh ini menurut kementerian ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral) sedang digodok.

Disaat seperti ini, saatnya pemerintah fokus pada permasalahan di level grassroot khususnya petani. Penurunan harga BBM meskipun akan berakibat pada penurunan pendapatan Negara atau APBN, setidaknya akan mengurangi biaya operasional bagi para pengusaha dan petani. Selain itu, secara politis penurunan BBM juga akan menambah kepercayaan terhadap pemerintahan SBY dan akan mendongkrak popularitasnya seiring dengan PEMILU yang akan diselenggarakan tahun 2009 mendatang.

Meskipun sangat sulit karena harga minyak terus berubah setiap saat. Namun, satu hal yang harus diperhatikan, keberpihakan ke sektor riil akan memberikan dampak positif yang lebih luas dan jangka panjang dari hanya sekedar keberpihakan di sektor keuangan. Disaat krisis seperti sekarang ini, pemerintah justru dinilai lebih berpihak pada sektor finansial dibandingkan dengan sektor riil.

No comments: